Day 3

42K 5.7K 994
                                    

Hari ini tidak ada yang aneh. Taehyung mengajar untuk kelas siang begitu pula dengan Jungkook yang terjadwal akan melakukan presentasi di mata kuliah Profesor Jung bersama Jimin sore hari ini.

Sehingga, pagi ini, demi apa pun, canggung sekali.

Tidak ada televisi atau hiburan apapun di apartemen. Kuota internet Jungkook juga menipis, ia juga terlampau tidak tau bagaimana cara untuk meminta uang karena—yea, dalam dompetnya hanya tersisa dua puluh ribu won dan Jungkook tidak tau apa yang harus ia lakukan dengan uang yang dimilikinya.

Taehyung selesai membuat kopi. Masih seperti biasa dengan sesendok susu meski sudah diberi gula. Ia memang tak bisa mentoleransi pahit sama sekali, sehingga manisnya dibuat luar biasa. Ia duduk di samping Jungkook yang tengah menekuk kakinya sendiri di atas karpet ruang tengah. Matanya berkedip-kedip melamun atau bahkan tidak sadar akan kehadiran Taehyung yang duduk di sebelahnya.

"Hey,"

Sapaan Taehyung membuat Jungkook terkejut dan reflek menoleh. Jungkook masih mengenakan piyamanya padahal sudah selesai mandi. Tidak banyak pakaian rumah yang bisa ia pakai di rumah. Begitu pula dengan Taehyung yang malah hanya mengenakan bathrobe dan boxer di tubuhnya. Sama-sama harus menghemat segala sesuatu sebab keadaan keduanya sangat terbatas.

"Karena kau pasanganku, kurasa ... mulai hari ini kau berhak mengatur seluruh uangku?"

Jungkook hanya terdiam dan membiarkan Taehyung mengeluarkan dompet kulit juga sekantung amplop coklat yang agak tebal. "Kau harus tau, orang sepertiku tak selalu mendapat gaji yang berimbang dengan banyaknya pekerjaan yang kulakukan."

Jungkook hampir menjerit saat Taehyung mengeluarkan seluruh isi dari dua benda yang ia keluarkan dalam saku. Tapi sekali lagi, Jungkook itu orang berpendidikan. Sekalipun ia 'belum' menyukai atau mencintai Taehyung, ia tidak mau berpikiran buruk tentang laki-laki yang duduk di hadapannya, walau jauh di lubuk hatinya, dia masih saja sedikit membenci perihal keputusan mamanya yang telah menikahkan dirinya di usia semuda ini.

Jungkook tidak masalah jika dijodohkan, asal dia sudah lulus dan punya uang sendiri setidaknya untuk membeli sebuah kaus kaki.

"Hey, manikmu berbinar sekali. Kau jangan berpikir aku akan memberikan setengahnya untukmu begitu saja karena aku—tidak akan,"

Jungkook mengerutkan dahi pelan. Dia bahkan tidak berminat mengambil apalagi hingga 'setengah'. Bola matanya memutar ke arah lain, sedikit kesal karena pernyataan si profesor cukup menjatuhkannya.

"Kita perlu menabung Jeon, kau bahkan sekarang duduk di atas karpet tipis tanpa bantal ataupun televisi. Tidak banyak yang sudah kubeli, aku baru bisa membeli ranjang, sofa kecil, meja rias, nakas dan peralatan dapur yang kurasa bagus untukmu. Kita tidak punya apapun untuk menyambut tamu. Dan kita juga perlu menyiapkan bekal masa depan untuk anak kita, tidakkah kau berpikir begitu?"

Jungkook hanya diam lagi—terlebih setelah mendengar kata anak. Jujur, Jungkook kesal karena entah kenapa dia selalu sukses dibuat membisu tiap kali Taehyung berbicara. Ia seperti sudah di-set secara otomatis untuk mengangguk dan mengiyakan tiap laki-laki itu mencoba mengaturnya.

Jungkook berusaha keras mengatur emosinya sendiri. Tapi pikiran kotornya terlalu mendominasi meskipun ia berusaha tidak menanyakan, "Kau tidak memikirkan akan 'membuat' anak dalam waktu dekat 'kan prof? Maksudku, kau tau—aku,"

Wow bodoh, Jungkook mengumpati dirinya sendiri sebelum berusaha kembali tenang. Dia tidak boleh menunjukkan kegoyahannya tiap kali menanyakan hal-hal sensitif seperti ini. Dia harus terbiasa bukan?

"Ya ya, tentu saja teladan. Kau juga masih terlalu muda untuk jadi orang tua dari anak-anakku dan aku tidak sebejat itu untuk memaksamu melakukannya kalau kau saja masih kaku padaku. Cukup belajar baik saja untuk studimu karna aku akan bekerja keras untuk membayarnya."

"Membayar? Membayar untuk apa?"

Taehyung tertawa sebelum kembali menyecap kopi di tangannya. "Studimu, kau suamiku—mana mungkin aku menyuruh orang lain untuk membayar kuliahmu untukku?"

Jungkook kembali mendelik, sebelum Taehyung mengeluarkan tiga lembar uang lima puluh ribu won untuk ia sisihkan. "Uang sakumu sampai lusa. Makan siang bersamaku mulai nanti kalau memang kau berniat menghemat dan membeli baju dengan uangmu, bandmu akan tampil besok lusa 'right?"


















;

Jimin menutup presentasinya dengan manis, tipikal anak bungsu keluarga Park sekali. Jungkook cepat-cepat memasukkan laptop Taehyung yang ia pinjam untuk menyusun materi semalam ke dalam tas ranselnya. Segera harus ia kembalikan sebab Taehyung bilang mereka pulang bersama hari ini.

"Bus? Anda naik bus, Prof?"

Taehyung tidak mempedulikan ucapan Jungkook dan langsung menaiki bus yang berhenti di depan mereka. Jungkook hanya mengekor sembari menundukkan kepalanya, "Dua orang, terima kasih."

Taehyung memilih sisi kiri dua slot dari belakang. Membiarkan Jungkook duduk di sisi dekat jendela lalu mendudukkan dirinya sendiri di sebelah kanan. Tangannya mengotak-atik ponsel, mata Jungkook yang melirik mendapati profesornya tengah mematikan gawai dengan segera. "Kenapa anda mematikannya, Prof? Tidakkah anda akan mendapat panggilan penting sewaktu-waktu?"

Bus mulai melaju dengan perlahan, Taehyung sedikit mengabaikan pertanyaan Jungkook yang menguap bersamaan dengan udara. Membuat Taehyung menatap anak didiknya itu dengan seksama, hela napasnya yang berat mencuri atensi Jungkook yang tengah memandangi jalanan. "Ya?"

"Aku tidak peduli dengan panggilan penting. Biar yang jadi pekerjaanku hanya berjalan saat aku bekerja. Aku denganmu, belajar memenuhi atensiku bersamamu. Apa itu sesuatu hal yang harus kuterangkan padamu juga, Jeon Jungkook?"





















;

"Ma, astaga—"

Taehyung sedang bersandar di sofa ruang tamu mertuanya. Jungkook sendiri diseret mamanya ke arah dapur, mengomelinya habis sebab anak itu dengan berani melarang Taehyung melakukan banyak hal dan tidak melakukan pekerjaan rumah dengan benar.

"Kau tidak pantas menolak entah halus atau kasar bahasamu! Taehyung suamimu! Menyentuhmu sudah jadi hak baginya! Dan kau jangan jadi pemalas astaga—Mama malu!"

Taehyung meringis pelan mendengarnya. Ia bahkan tidak memikirkan sampai sana. Baginya segala sesuatu bisa ia tahan lebih dulu, toh Jungkook masih pada tahap awal untuk mengenal dirinya lebih jauh. Belum lagi anak itu punya ambisi besar dengan hidup dan masa depannya. Taehyung saat ini hanya ingin menjadi penyokong Jungkook saja, ia tak akan memaksa lelaki manis yang jauh lebih muda darinya itu untuk melakukan hal yang jelas tidak ia inginkan.

"Wah, Ma—kenapa Mama memarahiku begini? Apa salah Jungkook, Ma! Kenapa Mama tidak memikirkan perasaanku juga? Apa bagi Mama menikah itu sesuatu yang tampak mudah bagiku?"

"Ya! Sangat mudah sampai mama benci kalau kau tidak bisa menjadi pasangan yang baik untuk Taehyung!"

"Kalau menikah itu segampang dan seenak yang Mama bilang, kenapa bukan Mama saja yang menikah dengan Taehyung?"





















;

"Hei, kau tidak perlu bersih-bersih begini astaga!"

Taehyung mencegah pergerakan Jungkook yang tengah menyikat dinding kamar mandi sembari menangis keras. Taehyung ragu haruskah ia memeluk ataukah harus—

"Prof," Taehyung segera merengkuh Jungkook lalu menepuk punggungnya dengan lembut.

"Sudah hei, berhenti menangis. Berdirilah, Teladan."

Jungkook merutuki tingkahnya sendiri masih dengan sesenggukan. Taehyung menuntunnya sampai ia terbaring di atas ranjang. Menaikkan selimutnya sampai sebatas leher seusai membersihkan tangan dan kaki anak itu dengan tisu basah. "Anda dengar semua, 'kan?"

Taehyung hanya menatap mata bulat Jungkook yang membengkak dan tampak kacau. Tangannya reflek menepuk lengan Jungkook dengan lembut, "Jangan dipikirkan, tidak masalah bagiku karena aku tau, kau pasti belum siap dengan pernikahan ini. Aku tak akan memintamu melakukan apapun jika kau belum siap. Tidurlah, aku akan mengantarmu membeli baju besok."

[ Revisi #2022 ]

amante | taekookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang