"Eh Abang, kenapa?" Tanya Jinara kikuk.

"Kenapa kamu di sini sendirian? Hampir magrib tahu. Kenapa gak di sana saja sama yang lain?"

"Hemmm aku nyari inspirasi buat lanjutan novel, bang hehe. Abang sendiri ngapain? Bukannya masing manggung?"

"Jalan-jalan, udah beres kok barusan. Soalnya lagi istirahat."

"Udah ketemu sama yang lain? Temen-temen kamu?"

"Udah bang, tadi sempet foto-foto juga. Mereka gak nyangka kalau aku udah pulang. Padahal aku pulang udah hampir 2 minggu lalu." Jawab Jinara sembari mengingat wajah kaget teman-temannya saat ia pulang setelah sibuk merantau di Inggris selama 2 tahun lamanya.

Shaka mendekat dan mengambil tempat di samping Jinara untuk duduk. Ia memandang lurus ke depan, membuat Jinara juga ikut memandang ke sana. Memperhatikan matahari yang sebentar lagi akan terbenam.

"3 tahun udah terlewati semenjak bayi Abang tumbuh. Makin dewasa yah kamu."

Jinara hanya tersenyum sebagai jawaban. Angin berhembus begitu saja menerbangkan anak rambutnya yang tidak ikut terikat.

"Gimana kerjaan? Apa baik-baik saja?" Tanya Shaka lembut, mengantarkan Jinara pada suasana sendu yang menyesakkan. Karena sudah pasti jika keadaannya seperti ini, akan ada sebuah pembahasan yang mengurai air mata.

"Baik bang. Tinggal nunggu revisi buat bab yang selanjutnya. Tapi kan aku lagi liburan hehe, baru aja kemarin pulang masa harus kerja lagi?" Ujar Jinara.

"Umur kamu sekarang berapa?"

Jinara terkekeh, "Abang lupa? Kemarin kan aku ulangtahun yang ke 21. Hadiah cincin ini kan kadonya." Ucap Jinara sembari memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manisnya, pemberian dari para kakaknya saat ia berulangtahun kemarin.

Shaka membelai rambut Jinara, "Tak disangka adik abang yang bungsu sudah bukan anak kecil lagi."

"Iya bang, karena gak selamanya aku jadi bayi."

"Sudah punya pacar?"

"Abang mengejek aku? Ya belum lah."

"Sedang suka sama laki-laki?"

"Nggak bang, hati aku masih belum dikembalikan oleh seseorang." Ucap Jinara sendu.

"Sedang dekat dengan orang lain?" Tanya Shaka kembali.

"Gimana mau dekat, kalau abang saja sudah mau berubah jadi maung." gerutu Jinara.

Shaka kembali terkekeh namun setetes air mata keluar dari kedua matanya membuat Jinara terdiam.

"Abang..?"

"Maafin Abang, Jinara."

Shaka mulai menangis. Dan Jinara menjadi kelabakan sendiri. Ia mengelus punggung Shaka dan membawa sang kakak pada sebuah pelukan. Menenangkan sang kakak yang malah semakin menangis entah karena apa.

"Gapapa bang..-"

"Maafin Abang, maaf kalau Abang selama ini egois dan selalu mencoba misahin kamu sama Yuko. Maafin Abang."

Mata Jinara mulai berkaca-kaca. Melihat Shaka yang seperti ini membuat hatinya ikut berdenyut nyeri. Lagipula, kenapa Shaka harus meminta maaf? Jinara maklum kok dengan apa yang para kakaknya lakukan. Tentang sikap mereka yang begitu keras jika ia dekat dengan pria ataupun ucapan jahat mereka.

"Gapapa bang, udah ah."

"Nggak, harusnya abang kasih kamu kelonggaran. Biar kamu bahagia..-hiks. Maaf. Maafin keegoisan Abang. Abang tahu abang selalu egois kalau menyangkut kamu. Abang cuman belum siap kamu dewasa dan meninggalkan abang begitu saja. Tapi ternyata itu bikin kamu menderita."

[✓] Kakak + Day6Where stories live. Discover now