46

524 19 3
                                    

Tok, Tok, Tok

"Assalamu 'alaikum!"

Tangan Cakra mengetuk pintu rumah Shera beberapa kali dengan gerakan tak tenang. Sebelum bertemu Shera Cakra akan terus merasa gelisah. Semuanya harus selesai hari ini juga. Cakra tak masalah ini makin runyam dan jatuhnya terkesan sebagai sebuah drama tanpa penyelesaian yang pasti.

"Wa'alaikumussalam!"

Cklek

Pintu terbuka dan menampilkan Adi dengan senyum ramahnya sama seperti biasa.

"Malam, om. Shera ada?", tanya Cakra.

"Oh, ada. Silahkan masuk, Cakra!"

Cakra pun ikut masuk bersama Adi.

"Shera ada di teras belakang," ujar Adi.

Cakra tersenyum tipis. "Terima kasih, om."

Cakra pun melangkah menuju ke teras belakang.

Langkah Cakra terhenti sebab sebuah ruangan yang terbuka pintunya berhasil menarik perhatian.

"Pasti kamarnya si Shera."

Cakra awalnya berpikir melanjutkan langkah. Tapi ia ingin bersikap lancang saja sekarang. Ia penasaran, apakah Shera menghias kamarnya dengan lukisan milik gadis itu yang Cakra akui sangatlah bagus.

Perlahan Cakra mendorong pintu kamar Shera yang tadinya memang sedikit terbuka.

Matanya mengamati tiap bagian kamar Shera.

Ada tempat tidur sederhana, dan sebuah meja belajar.

Cakra tersenyum tipis. Hampir semua barang-barang di kamar Shera berwarna orange.

Cakra baru sadar jika Shera itu sangat suka warna orange. Ke sekolah saja warna tas Shera itu orange yang super nge-jreng kalau dilihat mata.

Cakra merasa makin lama ia telah bersikap lancang. Terbukti saat ia berjalan ke arah meja belajar dan tangannya mulai membuka buku-buku yang tertata rapi disana.

Perhatian Cakra beralih saat mendapati sebuah buku dengan tulisan 'wings' didepannya.

"Wings, sayap?", gumam Cakra dengan alis hampir bertaut. Ia mengambil buku berwarna putih dengan tulisan berwarna orange, hitam, dan putih menjadi satu itu.

Cakra perlahan membuka lembar pertama buku itu.

Matanya membaca sebuah kalimat yang sama sekali belum ia pahami apa maksudnya.

'Aku ini manusia biasa, bukan bidadari ataupun peri yang punya sayap.'

'Karena mungkin aku ini manusia biasa, aku tak mungkin memilikimu. Kau seperti sebuah sayap, mustahil untuk kumiliki. Yang bisa memilikimu hanyalah bidadari atau peri dengan paras rupawan. Kemustahilan itu semakin jelas ketika kau ada didekatku, dan terkadang bersamaku, tetap kau belum bisa kusentuh. Dan, kau memang seperti sayap khayalan. Berhasil membuatku terbang tinggi dalam lingkup imajinasi, dan berhasil menjatuhkanku sampai ke titik nadir tanpa bisa membuatku bangkit kembali. Bagiku kau itu sayap, sayap-sayap yang akhirnya patah karena tak bersesuaian denganku.'

Tenggorokan Cakra tercekat. Tangannya perlahan membuka lembar kedua buku itu.

Cakra serasa diberi kejutan, kala ia melihat wajahnya yang dilukis disana, dengan bentuk dengan guratan pensil dan juga pena.

"Ini....dia yang buat?", gumam Cakra tak habis pikir. Cakra terus membuka lembar demi lembar buku itu. Dada Cakra berdentum kuat saat melihat fotonya yang memenuhi lembar buku itu hingga bagian paling akhir.

'Kau tahu, Tuhan, bahwa aku menyayangi orang ini. Tapi, aku tau kau punya rencana lebih indah hingga mengujiku dengan perasaan yang telah lama aku simpan ini. Aku ikhlas dia bukan untukku, aku ikhlas jika dia bukan untuk menjadi milikku. Aku ikhlas, ya Tuhan...aku ikhlas....'

Air mata Cakra menggenang. Ia mendekap buku itu dengan erat. "Gue akan berdoa, semoga gue yang bakalan jadi milik lo, cuma gue, Ra..."

Cakra tersadar, ia kembali meletakkan buku itu diatas meja belajar dan melanjutkan langkah ke teras belakang.

Setibanya di teras belakang, Cakra tak langsung menghampiri Shera. Ia terlalu sibuk memandangi Shera yang nampak duduk disana.

Puas, memandangi Shera dalam diam, Cakra memutuskan menghampiri gadis itu.

"Shera....," panggil Cakra lembut. Shera terkesiap. Ia kaget bukan main.

Gadis itu berbalik badan, dan mendapati Cakra dengan senyum paling menakjubkan yang pernah lihat. Nampak tulus.

Shera gelagapan. Ia segera menyembunyikan hoodie orange itu ke belakang tubuhnya. Ia sama sekali tak tahu Cakra akan datang dan menemuinya.

Cakra yang sadar dengan gelagat Shera yang aneh itu menipiskan jarak. "Lo nyembunyiin apa dari gue?"

Kepala Shera menggeleng. "Nggak ada, nggak ada!"

Cakra menatap Shera dalam, sebelum akhirnya ia mengambil benda yang gadis itu sembunyikan dibelakang tubuhnya.

Lagi-lagi, Cakra terkejut untuk kali ketiga di hari ini.

Pertama, ucapan Gio tentang perasaan Shera, kedua soal buku yang ada di kamar Shera, dan ketiga, sebuah hoodie orange yang begitu Cakra kenal. Hoodie orange milik seorang gadis yang begitu dikaguminya dulu.

Shera sekarang menundukkan kepala, ia takut setelah ini Cakra akan membencinya. Hari ini telah tiba juga, dimana segala hal yang Shera tutupi rapat-rapat menguar kembali.

"Shera, jelasin ini maksudnya apa?", tanya Cakra pelan menatap Shera dan hoodie orange itu secara bergantian.

Napas Shera memburu. Ia tak punya daya menatap Cakra sekarang. Ia merasa pertahanannya hancur sekarang juga.

"Ra, jelasin..." Cakra berujar pelan. Shera masih menunduk..
Cakra menyampirkan hoodie itu di pundaknya. Ia lalu meletakkan kedua tangannya tepat di pundak Shera. "Apa lo cewek yang ada sama gue pas hujan waktu itu? Apa lo cewek yang ngasih bunga mawar pas kita berdua waktu itu?"

Shera menggigit bibir bawahnya. Gadis itu menghela napas, lalu menganggukkan kepalanya takut-takut.

Senyum Cakra terkembang puas. Ia lalu membingkai wajah Shera dengan kedua tangannya, hingga Shera mengangkat kepala dan memandang Cakra. "Gue udah lama mau ketemu sama lo, dan bodohnya gue terlalu sibuk mencari sampai lupa lo ada di depan gue selama ini." Cakra menjeda kalimatnya. "Lo pernah bilang, kalo gue bisa cinta sama siapa aja tanpa harus terbayang-bayang sama cewek yang bangkitin gue dari patah hati. Dan sekarang, gue malah tau lo sama dia adalah orang yang sama."

Shera tersenyum getir. "Sekarang lo tau, 'kan? Dan pasti lo kecewa."

Cakra menggeleng kuat. "Sama sekali nggak! Gue malah senang, dan gue rasa Tuhan baik sama gue. Dan, gue juga lega kalo perasaan lo sama kayak gue, bahkan lo udah lama suka sama gue, 'kan?"

Shera tersentak. "Lo tau darimana?"

Cakra mengusap lembut puncak kepala Shera. "Bang Gio udah kasih tau semuanya. Gimana lo bisa nahan perasaan lo selama hampir 3 tahun?"

Shera hanya tersenyum tipis. "Nggak tau juga."

Cakra memeluk Shera dan menenggelamkan wajahnya pada pundak gadis itu. "Gue mohon percaya sama gue, gue suka sama lo! Gue nggak bohong soal perasaan gue."

Shera membalas pelukan Cakra. Gadis itu memilih tak mengucapkan apapun. Biar suasana hening dan bisu ini merasuki perasaannya, menyelusup dalam pikirannya.

Entah realita atau khayalan, Shera hanya ingin Cakra terus mengatakan jika cowok itu mencintainya.








*****








Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita Cakra dan Shera

Jangan lupa vote dan komentarnya

Salam hangat,
Dhelsaarora

Beautiful ChoiceKde žijí příběhy. Začni objevovat