Temu Pertama Alvar Lia

26 1 0
                                    

Saat hujan datang bersama November menghampiri Yogyakarta. Kala itu dia duduk seperti biasa di cafe tempat dia selalu singgah setelah hiruk pikuk penat urusan kuliah di kampusnya. Duduk dan bercengkrama mesra dengan buku-buku yang digilirnya satu persatu kalau sempat agar dia dapat nikmati puisi - puisi di dalamnya.

"seperti biasa po mas?"

"haha iya. Tolong ya" jawabnya pada pelayan yg tidak lagi menyodorkan menu padanya.

Teh panas manis datang bersamaan dengan dia yang telah siap melanjutkan cengkrama dgn bacaannya. teh panas manis yang awalnya panas pun dia cicipi seteguk kecil lalu karena sibuk dengan bacaannya, teh panas tadi pun perlahan menjadi hangat lambat laun pun menjadi dingin. pula dengan sore november yang lambat laun pun ingin jadi malam. Penat kesal saat menunggu untuk bimbingan dosen di kampusnya tadi, perlahan pudar dilelehkan oleh tutur puisi yang dibacanya. Bukan hanya di sini, di kampus pun dia selalu membaca. guna membunuh waktu saat menunggu janji temu untuk dilunasi oleh dosen pembimbing. Dan seperti biasa dia pun hanya menunggu, tidak pernah jadi bertemu. Katanya.. diphp dosen lagi.

Bagaimana ekspresinya atau reaksinya saat membaca, tidak ada. Dia terlalu sering membaca buku-buku tentang puisi. Kala itu "tidak ada new york hari ini" karya M. Aan Mansyur yang dibacanya. Membaca puisi tidak sama seperti membaca novel. Kadang tidak ada ekspresi walau setengah buku telah dilalui. Ada perasaan yang muncul saat membaca puisi, tapi entah kenapa tidak bisa muncul.

Tidak peduli dengan apa yang di sekitar, dia hanya mau tetap bercumbu dengan buku dan puisi-puisi di dalamnya. baginya ini bukan sekedar proses menikmati bacaan tersebut. Baginya juga ini adalah proses belajar, agar mungkin nanti dia setidaknya bisa mendekati kesaktian para penyair-penyair yg membuat puisi-puisi yang dibacanya hari ini dan hari kemarin-kemarin. Walau puisinya hanya dibuat untuk seorang pembaca saja, yaitu dirinya sendiri. Untuk kepuasan batin katanya.

Dibeberapa jam yg dia lalui tanpa sadar, hari itu menjadi tidak sama dengan hari kemarin dan kemarin-kemarinnya lagi. Ada yang terjadi dihari itu.

-

"omong kosong" kata perempuan yang tiba-tiba tidak tau untuk siapa kata tersebut di ucapkan.

"..." lelaki menoleh, seolah ingin memastikan bahwa kata-kata itu bukan untuknya.

"tulisan di tote-bag mu itu, omong kosong" sambungnya

Dengan mengerutkan keningnya, lelaki pun membaca tulisan di tote-bagnya yg nyatanya dia sudah tau apa tulisannya karena dia sendiri yang menggagas itu.

"mm.. maksud kamu?"

"kenali insan dari puisi & sajak, terlalu alay menurutku. Dan itu omong kosong"

"ooo hahaha"

"memangnya ada puisi yang isinya perkenalkan namaku Rany, Hobiku Lari, Aku tinggal dirumah tapi karena sering lari aku lupa jalan pulang, ga ada kan??"

"hahahahahah"

tertawanya secara resmi membuat hari itu menjadi berbeda dengan hari kemarin dan kemarin. Hari-hari dimana tidak ada tawa, tidak ada ekspresi, hanya diam melamun dengan belegug-belegug yang hanya bisa dia dengarkan sendiri, hari-hari dimana dunianya hanya ditemani oleh buku-buku dan teh panas manis yang tidak lagi panas, hari-hari yang ada hanya dia dan puisi-puisi di dalam hati.

Tidak mengerti alasan kenapa perempuan tersebut melabrak dirinya dengan mengatakan omongan-omongan tadi, entah kenapa dia pun memaklumi itu. tidak marah hanya sedikit heran. Dia lebih condong ke penasaran atas sosok nona pelabrak itu. hal tersebut entah kenapa baginya sudah cukup untuk membuatnya menawarkan tempat duduk dengan meja yang sama dengan dirinya kepada perempuan tadi.

"duduklah" sebuah kata yang diucapkan lelaki itu yang sangat sudah cukup jelas menggambarkan bahwa penasaran sudah ada di ufuk jidat lelaki itu. diteguknya untuk kedua kali teh panas manis yang sudah tidak panas lagi itu. tanpa dia peduli dengan teh panas manis yg sudah jadi teh dingin manis, matanya tidak mau lepas dari nona pelabrak itu. tatapan yang sama dengan dia saat melihat sastrawan-sastrawan sakti saat membaca puisi, tatapan yang sama saat dia membaca ulang sajak yang membuatnya merinding, tatapan mengagumi? Tidak. Mungkin tatapan jatuh cinta. Mungkin.

"kok bisa tiba-tiba baca tulisan totebag ini?"

"emang kata siapa aku ga tau membaca?"

"ah hahahaha, maksudku kok bisa tiba-tiba emm,, emm"

"udah-udah, aku ngerti maksudmu,," potong perempuan

"engga, Cuma waktu mau cari tempat buat duduk, totebag mu itu kayak manggil2 gitu" sambung perempuan.

"ehh kok?"

"iya, manggil-manggil hey ayo kesini kenali aku dari puisi dan sajak"

"hahahaha, ingin kenalan dengan totebag ku ternyata"

"iya.. kenalin namaku Lia, Anais Davylia Afiras"

Lelaki itu diam sejenak lagi, sedikit heran juga, namun memaklumi lagi entah kenapa. Lalu diucapkan namanya sebagai bayaran atas nama perempuan itu Alvar, namaku Alvar. Alvar Ryad Turama. Yang mulutnya ucapkan adalah nama tapi tatapannya mengatakan jatuh cinta. Tatapan yang tadi baru jadi mungkin sekarang sudah naik langsung menjadi pasti. Pasti ini tatapan jatuh cinta.

"loh loh loh,, aku kenalan sama tote-bag kok"

"oalah hahaha,, iyaa nama totebag tadi itu"

"kalau tuannya, namanya siapa?"

"namanya sama hahaha"

"oh halo mas sama"

"hahahaha"

"hahahaha"

Tiba - tiba perempuan bernama Lia itu sejajar dengan puisi, tiba - tiba perempuan itu menjadi puisi - puisi yang ingin dia segera tulis. Tiba - tiba puisi dan perempuan itu menjadi dua hal yang sama - sama dia cintai. Teguk ketiga kalinya pun terjadi.

PoefliaWhere stories live. Discover now