Part 5 - Pamit

112 7 0
                                    

Nia POV

Ternyata seperti ini menjadi seorang ibu rumah tangga. Awalnya kukira menjadi ibu rumah tangga hanya seputar memasak, beres-beres rumah juga mengurus keperluan anak dan suami. Tetapi ternyata menjadi ibu rumah tangga lebih dari itu. Seperti sore ini, jika sebelum menikah aku bisa pulang malam hari karena harus lembur di sekolah maka sekarang tidak lagi.

"Assalamualaikum Bu." Terdengar suara Hera dan tak lama kurasakan kedua tangan mungilnya merangkul pinggangku. Wajahnya tampak berbinar senang.

"Waalaikumsalam sayang." Aku mengusap kepalanya yang tertutup kerudung. "Gimana ngajinya nak?" Tanyaku padanya yang baru pulang dari TPA.

"Seru Bu. Tadi ustadzah cerita tentang Nabi Sulaiman yang bisa ngomong sama hewan."

"Gimana ceritanya nak?"

Hera mulai bercerita panjang lebar sembari kami berjalan ke kamarnya. Jelas sekali kalau ia begitu antusias dengan cerita itu.

"Kalo aja aku juga bisa ngomong sama hewan ya Bu. Asyik banget kayaknya." Lagi-lagi senyuman khas anak kecil terkembang di wajahnya.

Aku duduk di tepi tempat tidurnya setelah menyimpan tas Hera. "Nabi Sulaiman bisa bicara sama hewan karena itulah mukjizatnya nak." Aku meraih bahunya agar duduk bersebelahan denganku. "Beliau diberikan karunia yang lebih oleh Allah selain karena beliau adalah seorang nabi juga karena kesholehan dan kebijaksaan beliau nak."

"Jadi kalo aku jadi anak yang sholehah dan bijaksana bisa ngomong sama hewan juga ya bu?" Tanyanya polos.

Aku menggeleng pelan. "Enggak sayang." Kuelus puncak kepalanya dengan sayang lalu menghapus bibirnya yang mengerucut kecewa. "Hanya para nabi yang dipilih oleh Allah yang bisa memiliki mukjizat nak dan salah satunya adalah Nabi Sulaiman yang bisa bicara dengan hewan. Dan Allah audah menjanjikan tidak ada orang lain selain Nabi Sulaiman yang memiliki mukjizat yang sama dengannya."

"Oh jadi gitu ya Bu." Ia mengangguk pelan. "Ya berarti aku enggak bakal bisa ngomong sama hewan dong?" Nada bicaranya berubah sedih.

Aku kembali tersenyum. "Bersyukur aja nak kita sebagai manusia enggak bisa ngomong sama hewan. Gimana coba kalo misalnya Hera bisa ngerti omongannya semut mungkin. Nanti Hera enggak bisa tidur kan semut ad banyak terus mereka ngomong semua dan mereka bilang kalo Hera bau asem gara-gara belum mandi." Ledekku padanya hingga gadis kecilku mengerucutkan bibirnya lucu. "Hera mandi ya sayang sudah sore." Ia mengangguk setuju lalu masuk ke kamar mandi.

Aku akan kembali ke dapur saat mendengar seseorang mengucapkan salam namun kali ini pelakunya tahu-tahu sudah ada di belakangku saat aku hendak berbalik. "Astaga.." Kataku sambil mengelus dada.

Ia berdecak pelan. "Orang ngucapin salam ya dijawab dong bukannya malah bilang astaga." Katanya setengah mencibir.

"Waalaikumsalam." Aku mencium tangannya dengan takzim. Tanpa kuduga lelaki ini meraih wajahku lalu mencium keningku lembut. Padahal ia sudah sering melakukannya tapi efeknya tetap sama padaku. Dapat kurasakan wajahku memanas akibat ulahnya.

Untuk menutupi wajahku yang sudah memerah aku mengambil jas putih miliknya lalu membawanya ke kamar. Sebenarnya aku jadi penasaran apa pekerjaan Pak Reno, bukankah seorang dokter yang bekerja di rumah sakit harusnya memiliki jadwal shift tetapi Pak Reno sepertinya tidak. Lelaki itu selalu pulang di sore hari dan berangkat di pagi hari. Tetapi ya sudahlah, toh itu bukan urusanku.

Setelah menyimpan jas putih Pak Reno aku hendak kembali ke dapur dan menyelesaikan masakanku. Lagi-lagi niatku terhenti sesaat.

"Nia." Panggilnya pelan.

Aku membalikkan tubuhku menghadapnya. "Iya Pak. Eh, Mas?" Kataku kaku saat menyadari kesalahanku menyebutnya.

"Besok aku bakal pergi ke luar kota buat seminar." Ia bicara sambil melepaskan kancing-kancing kemejanya dan semua gerakan tak luput dari perhatianku. Ia mulai dengan membuka kancing yang ada di pergelangan tangannya lalu ke kancing teratas yang ada di lehernya. Astaga apa-apaan aku. Bukan itu yang seharusnya kuperhatikan.

Cinta Itu Nyata : Our Love StoryWhere stories live. Discover now