When-3

82 38 20
                                        

Kehidupan Tsabita masih sama, setelah seminggu yang lalu mamanya berkunjung ke rumahnya. Bangun pagi, beres-beres apartemen, mandi, sarapan lalu berangkat kerja. Begitulah rutinitas Tsabita setiap pagi. Ia telah menjalaninya sekitar empat tahun belakangan.

Jika ditanya bosan, tidak Tsabita tidak pernah bosan. Ia selalu mencintai hidupnya, mencintai apa yang dia punya, mencintai pekerjaannya, mencintai keluarganya. Hanya saja, keluarga Tsabita berada di luar kota. Untuk pulang saja memerlukan waktu sembilan jam menggunakan kereta dan satu jam menggunakan pesawat. Jadi ia akan pulang ketika mendapatkan tanggal merah panjang atau mengambil cuti tahunan.

"Sial." Dengus Tsabita. Ia meneriaki kebodohannya. Hari ini tiba-tiba turun hujan dan yang lebih mengenaskan ia menggunakan rok pensil sebatas lutut dengan heels sembilan sentimeter. Ia terjebak di halte transjakarta. Kakinya sudah pegal menopang badannya.

Tsabita melirik ke samping kiri dan kanan. Lalu kembali mengecek ponselnya. Kalau gini bisa telat deh. Padahal hari ini ia ada meeting dengan klien. Ia mencoba mencari GO-CAR. Walaupun nanti tetap saja telat. Apalagi dalam keadaan hujan pasti akan terjebak macet di jalan.

Berkali-kali Tsabita mencari pengemudi tetapi tidak segera mendapatkan. Saat ia mengklik pencarian satu pesan masuk.

From: Genta

Udah berangkat?

Kebetulan batin Tsabita. Ia segera membalasnya.

To: Genta

Udah tapi kejebak hujan di
Halte biasa 😢😢

Padahal hari ini ada
meeting

Lo dah jalan?

Kalo belom, gue nebeng
dong 😞

Lima menit berlalu tidak ada balasan dari Genta. Sebentar saja ia selalu mengecek ponselnya. Tetap saja. Belum dibalas. Atau dia lagi di jalan, batin Tsabita. Tidak berapa lama mobil Genta berhenti tidak jauh dari halte. Tsabita yang melihatnya langsung keluar halte dan menembus hujan dengan tas menutupi kepalanya. Ia mengetuk pintu sebelah kiri.

"Lo kok nggak sabaran sih? Gue baru mau turun tapi ambil payung dulu." Cecar Genta.

Tsabita yang sibuk mengeringkan muka dan rambutnya menoleh ke arah Genta.

"Kelamaan. Udah buruan jalan, Gen!"

Genta tidak menyahuti kata-kata Tsabita. Dia lalu melajukan mobilnya menembus jalanan ibu kota yang diguyur hujan.

Di antara keduanya tidak banyak terlibat percakapan. Tetapi mata Genta sesekali tidak bisa lepas dari perempuan yang ada di sampingnya.

"Lo nggak salah pake rok pensil?"

"Kenapa? Nggak banget ya di badan gue? Apa gue tambah gendutan? Duh jadi saltum deh." Gerutu Tsabita.

Genta yang melihat tingkah Tsabita yang berlebihan menaikkan pundaknya sebagai jawaban. Matanya masih terfokus di jalanan. Padahal kalau dilihat badan Tsabita tidak ada yang salah. Tidak gendut juga. Tapi kenapa dia selalu bilang, pipiku tambah gendut deh. Kayaknya aku harus diet deh. Kayaknya bajuku tambah kecil deh dan banyak lagi.

Sebenarnya Genta gemas dengan tingkah cewek yang berlebihan. Kenapa sih mereka harus memikirkan kenaikan berat badan. Yang kadang naiknya hanya 0,1 gram. Bukannya nggak berpengaruh juga. Cowok yang suka sama cewek pasti dia akan menerima apa adanya. Mau dia gendut, mau dia kurus kayak anorexia, atau bahkan dia nggak ada bentuknya sekalipun.

Sepanjang perjalanan diisi dengan suara Tsabita yang merajuk karena merasa salah kostum. Genta yang duduk di sebelahnya enggan untuk menanggapi. Yang ada kalau salah bicara jadi panjang urusannya. Makannya dia lebih memilih diam saja.

Empat puluh lima menit kemudian mereka sampai di lobby kantor Tsabita. Genta menghentikan mobilnya tepat saat Tsabita melepas seatbelt-nya.

"Bentar deh, Ta." Tarik Genta. Menyingkirkan tangan Tsabita yang akan meletakkan seatbelt-nya. Genta mencoba memasangkan kembali.

"Kenapa, Gen? Udah sampe, gue mau turun."

Genta mencondongkan badannya ke arah Tsabita. Tsabita yang masih diam di tempat. Ia merasa was-was.

"Lucu banget sih ekspresinya." Canda Genta sambil mencolek hidungnya.

"Bisa nggak lipstick-nya jangan tebal-tebal. Keliatan kayak tante-tante." Bisik Genta tepat di telinga Tsabita. Lalu Genta melepaskan seatbelt dan meraih handle pintu dari seberang kursi yang diduduki Tsabita.

"Tunggu apalagi? Katanya mau meeting kenapa diem aja?" Tanya Genta.

"Emmm... Yaudah makasih Gen. Hati-hati di jalan."

***

"Tau nggak sih, Bit. Ini tuh beli satu gratis dua. Di bayar yang paling mahal."

"Terus lo beli gitu? Padahal lo kan belum pernah pake tu make-up." Seru Tsabita.

"Emang sih, rasanya pengen ganti suasana aja. Lipcream nya creamy banget tapi tuh ga bikin crack gitu."

"Nude banget nih. Tapi boleh nih buat gue. Kan lo mana pernah pake warna pastel gini."

Tsabita meraih lipcream yang dipamerkan Naya. Ia menghapus lipstick yang tadi dipakainya. Perasaan tidak ada yang salah dengan bibirnya. Ia juga nggak mengoles warna red chilly. Kenapa Genta harus sewot. Biasanya dia tidak pernah protes dengan apa yang dia pakai.

"Kenapa lo hapus? Malah jadi keliatan pucet tau nggak. Mana lo tuh ga cocok aja peke warna gitu."

"Terus gue cocok pake apa? Tadi pake warna agak gelap dikata kayak tante-tante. Pake warna nude dikata kayak orang sakit. Ah ellah nggak ada benernya."

"Siapa yang bilang Bit?" Tanya Naya penasaran.

"Genta tuh."

Naya mengerutkan kening. Bukannya Genta pendiam dan nggak banyak omong. Naya tahu pasti kalau Genta bukan tipikal cowok yang suka mengomentari sahabatnya itu. Bahkan apa yang Tsabita pakai tidak layak untuk keluar rumah dia tidak pernah berkomentar.

"Emang dia bilangnya gimana?" Tanya Naya penasaran.

Tsabita menceritakan kejadian di dalam mobil dari saat Genta membuatnya shocked sampai kata-kata Genta yang ngelantur.

"Are you seriously? Wow, nggak nyangka banget." Naya benar-benar terkejut.

"Lo aja terkejut, gimana gue yang diposisi itu?"

"Gila ya Genta bisa bersikap seperti itu. Itu kayak drama-drama Korea terus entar cowoknya cium si cewek sampe kehabisan napas." Canda Naya.

Tsabita melempar gulungan kertas tepat di lengan Naya. Ia kesal, harusnya nggak cerita ke Naya. Dia pasti menjadi bulan-bulanannya. Apalagi Tsabita yang belum pernah first kiss.

"Ngawur, nggak mungkinlah Genta gitu. Lo kan tau, gue sama Genta temenan dari gue masih kecil."

Naya tertawa mengejek. Apapun yang dia katakan nggak ada gunanya. Tsabit akan selalu bilang kalau mereka cuma sahabatan dan selamanya akan begitu. Tapi siapa yang tahu kalau salah satu diantara mereka menyimpan perasaan

When: Is There Something Wrong With Us?Where stories live. Discover now