Silahkan ikuti ceritaku, kalau suka tambahkan ke perpustakaan. Butuh saran dan kritik, apapun itu. 🙏🙏🙏 maapkan masih amatiran
Bodohnya, menawarkan diri untuk terluka adalah kemenangan, yang pada akhirnya kita sama-sama saling melukai karena ego kita
💕💕💕
Jika hari senin tidak se-membosankan ini, atau akan terasa cepat seperti hari minggu. Mungkin akan terasa mengasyikkan. Hari senin dengan setumpuk kerjaan di akhir bulan bukan ide yang bagus untuk berleha-leha. Apalagi sekedar membalas chat. Membacanya saja tidak akan sempat. Apalagi si merah datang di waktu yang tidak tepat. Seperti bulan-bulan yang lalu, datang bulan selalu terasa menyakitkan. Lebih sakit dari sakit hati. Lebay sih, tapi memang begitu. Datang bulan memang paling enak kalo buat malas-malasan me time di ranjang.
Begitulah siklus menstruasi yang harus Tsabita rasakan setiap bulan. Dia telah menempuh berbagai jalan untuk menghilangkan sakitnya. Mulai dari minum obat nyeri, terapi hormon, olahraga teratur, dan segala macamnya. Tetapi, tetap saja. Sakitnya itu tidak pernah hilang untuk setiap datang bulan. Kata temannya SMA dulu, "Ta, jangan sering-sering minum obat, temen gue masih seusia lo angkat rahim. Ya model-model kayak lo gitu. Tiap bulan pasti sakit." Ingatan itu terus menerus berputar di kepalanya. Hingga akhirnya Tsabita lebih memilih sari kacang hijau untuk mengurangi nyeri haid. Meskipun, tidak berefek banyak. Badannya dingin, pegel di bagian pinggul hingga betis, mual-mual, dan nyeri perut.
Kuat, katanya dalam hati. Ini masih jam sebelas, belum saatnya pulang. Kerjaan masih numpuk. Apalagi harus input laporan tutup buku.
"Bita, lo mau pesen apa? Gue mau order makan siang nih." Teriak Naya di balik kubikelnya. Tsabita masih terus mencoba fokus dengan layar komputer di depannya. Selagi sakitnya masih bisa ditahan.
"Apa aja deh, yang enak." Sahutnya. Biasanya, seperti sekarang Tsabita memilih mengosongkan perutnya. Karena seberapapun diisi tetap akan keluar lagi. Dan begitu hingga hari pertama datang bulan selesai. Walaupun di hari kedua akan jauh lebih baik.
Langkah kaki terdengar mendekat ke arah kubikel Tsabita. Dia sudah tahu kalau itu pasti Awan- orang yang ngefans Tsabita garis keras. Satu-satunya orang yang selalu bikin risih. Gimana tidak, dia selalu menarik kursi untuk sekedar menemani Tsabita bekerja yang justru, membuat Tsabita nggak leluasa. Udah sempit, ditambah satu kursi bernyawa bikin makin sempit.
"Bita, serius banget. Lagi sibuk ya?" Tanya Awan yang menyenderkan badanya di kubikel Tsabita. Memang sibuk, apalagi harus meladeni kamu, nggak akan sempet, katanya dalam hati. Tapi tidak sampai keluar. Dia hanya berdehem, mengiyakan kalau dia memang sibuk.
"Panas banget nih Bit, abis survei ke lapangan. Ada beberapa kabel yang putus gara-gara pelebaran jalan." Tanpa diminta cerita Awan lebih dulu menceritakan pekerjaannya hari ini.
Awan memang tidak berstatus di kantor ini. Tapi karena dia anak lapangan kadang dia lebih leluasa aja waktunya. Terlebih kalau dia ada perlu di kantor pusat. Seperti sekarang, dia akan duduk manis di samping Tsabita. Mengoceh banyak hal, tentang kerjaan, tentang perasaannya untuk Tsabita, tentang mamanya yang meminta calon mantu dan banyak hal.
Sudah lama Tsabita mengetahui kalau Awan, seniornya di kantor memiliki perasaan lebih. Sejak diklat di Bandung beberapa tahun lalu.
"Ta, ini orderanmu, seperti biasa." Kata Naya mengulurkan bungkusan makan siang yang berisi ayam bakar. Setelahnya Naya melirik mas Awan. "Eh, ada mas Awan. Ngapain mas kesini?" Arnaya Yustinus ini memang memanggil Awan dengan sebutan mas, karena bagaimanapun Awan lebih senior. Tetapi dia pindah kantor yang ternyata malah jadi pengawas lapangan.
YOU ARE READING
When: Is There Something Wrong With Us?
General FictionOnce we met, it was clear that neither of us could control what was happening to us. We fell in love, despite our differences, and once we did, something rare and beautiful was created. Bertemu kamu bukan suatu hal baru bagiku. Tetapi bertemu kamu...
