7- Dijodohkan

233 29 26
                                    

Di luar rumah, pedagang mainan begitu banyak. Fahri tak lagi mengikuti. Ia sekarang tengah duduk menyaksikan biduan cantik yang bernyanyi di atas panggung. Aku menatapnya kesal. Bukankah aku juga cantik?

"Kak Soni ingin itu."

"Oh yang mana?" tanyaku pada Azka yang tengah menunjuk sebuah mainan yang menggantung di sebuah gerobak.

"Yang itu."

"Ini?" tunjukku pada mainan senter kecil. Azka mengangguk mengiyakan. Akhirnya aku membeli dua mainan itu.

***
Sore hari, acara baru selesai. Tak kusangka Bude dan Pak De mengadakan acara sebesar ini hanya untuk menyambut ulang tahun Fahri dan khitanan Azka. Tamu undangannya adalah seluruh warga. Hampir tidak bisa dibayangkan berapa banyak yang datang dan makan di sini.

Ini sudah seperti acara pernikahan. Terlebih seluruh keluarga juga didandani dan memakai pakaian senada. Aku juga diajak berfoto bersama. Padahal waktu itu aku menolak. Tapi entah kenapa Fahri bersikukuh membujukku.

Siang tadi adalah pertama kalinya aku masuk dalam album foto milik keluarga bude. Kalau dibayangkan, aku seperti menantu saja. Aku tak hentinya tersenyum senang. Meski aku kerepotan mengasuh Azka saat acara berlangsung, tapi Fahri selalu bisa menghiburku.

Hampir setiap saat, aku melihatnya tersenyum kepadaku. Dia bertingkah konyol hari itu. Entah mengapa Fahri ingin sekali mengabadikan wajahku di ponselnya. Dia bahkan rela membujuk Azka agar mau berfoto bersamaku.

"Azka, foto dulu sama Kak Soni, nanti Abang beliin mainan yang banyak," bujuknya.

Jelas saja, Azka yang mendengar kata mainan akan menurut. Azka membentakku, menyuruhku berfoto dengannya. Menyebalkan sekali bukan? Dia bocah 4 tahun yang bertingkah arogan seperti raja. Kalau tidak dituruti ia akan menangis.

Akhirnya Fahri memotretku dan Azka. Aku tersenyum canggung ke kamera.

"Sudah?" tanyaku.

"Belum, sekarang ganti gaya."

Aku melongo tak percaya. Bukankah satu foto sudah cukup? Lagipula untuk apa sebenarnya foto itu? Bukankah tadi kami sudah berfoto keluarga?

Aku tersenyum lagi ke arah kamera. Melihatnya memotretku dengan gaya yang elegan. Dia berjongkok. Rambutnya yang sudah sedikit memanjang bergerak diterpa angin. Matanya berbinar senang. Senyumnya begitu manis. Dia bangkit dan menghampiriku. Aku sontak mendongak karena kalah tinggi darinya.

"Nah, sudah difotonya." Ia berjongkok, menyetarakan wajahnya dengan Azka. "Azka mau lihat foto bareng bidadari?" katanya berbisik tapi sungguh aku mendengarnya mengatakan demikian.

Azka mengangguk antusias.

Aku kembali menyimak. Tidak lama, aku tercengang karena Fahri malah memperlihatkan fotoku dengan Azka barusan.

"Mana bidadarinya?" tanya Azka polos. Aku sedikit mendekat. Penasaran dengan jawaban Fahri selanjutnya.

"Ini," tunjuknya pada fotoku.

***
Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah melingkari meja yang memang tersaji beberapa toples kue dan makanan lainnya.

Saat akan menikmati kue, Azka tiba-tiba menangis. Aku membuatkannya susu agar segera tertidur. Tapi ia hanya ingin tidur bersama mamanya. Akhirnya bude yang menidurkannya di kamar.

Fahri sengaja menyalakan televisi. Saat itu, semuanya mencicipi kue. Ada Pak De juga yang duduk bersebelahan dengannya. Meski televisi sudah menyala, Albi, Hizam dan Zidan tetap seperti biasa, sibuk bermain game di ponsel. Lalu aku? Aku hanya diam mematung karena malu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sepupu, Boleh Aku Mencintaimu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang