Dan ngomong-ngomong, El jadi ingin sostel.

El pun bangun dari tempat tidur dan beranjak ke lemari Vano. Walau sempat terhuyung, ia tetap melanjutkan langkahnya untuk mengambil sweater Alvano. Biarpun tidak sehangat pelukan Vano yang sesungguhnya, tapi setidaknya sweater ini bisa mengurangi rasa dingin yang begitu menyiksa.

Ia mencium sweater itu sejenak. Bau Vano. Ah, begitu menenangkan. El pun segera memakai sweater tersebut dan membayangkan Vano yang memeluknya. Lalu, ia mengambil selimut dan menyeretnya keluar kamar. Ia mau duduk di dekat pintu saja, agar bisa langsung bertemu Vano, ketika lelaki itu pulang.

Di depan pintu, El kembali membungkus tubuhnya dengan selimut dan bersandar di dinding. Entah karena lelah atau memang dipengaruhi oleh sakitnya ini, rasa kantuk menyerangnya. Perlahan-lahan, kedua matanya menutup. Dan El pun tertidur. Di lantai yang dingin, dengan tubuh yang bersender di dinding.

*****

Akhirnya, Vano dan yang lainnya sampai di lobby apartemen. Saat itu, Vano baru ingat kalau di apartemennya kehabisan camilan untuk dimakan.

"Eh, lo pada mau makan apaan? Di apartemen gue ngga ada camilan sama sekali. Biar gue beliin dulu," ujar Vano.

Telinga Chikal menegak. Ia yang sudah semangat ingin menjawab, harus menahan kesal karena mulutnya yang langsung ditutup oleh Koko.

"Ngga usah Van. Gampang itu mah. Ntar kalo kepengen tinggal Yo!food aja," ujar Koko.

Vano mengangguk. Ia pun berjalan mendahului mereka. Chikal merengut mendengar jawaban dari Koko tadi. Temannya yang satu itu telah menghalang-halangi hak untuk bersuara miliknya. Kesempatan untuk makan enak plus gratis jadi hilang.

Keempat orang itu pun mengekori Vano tanpa banyak bertanya. Mei menatap lorong-lorong yang mereka lewati dengan takjub. Lalu, mereka masuk ke dalam lift. Benda persegi itu segera membawa mereka ke atas, setelah Vano menekan tombol yang menuju apartemennya.

"Gue ngga mau buat Bab satu. Gue bagian isi aja," ujar Vano ke keempat temannya itu.

"Eh, kenapa?" tanya Mei.

"Malesin," gerutu lelaki tinggi tersebut. Entahlah, Vano hanya tidak suka membuat latar belakang atau rumusan masalah dan tujuan penulisan yang baginya sangat-sangat merepotkan itu.

Lift berhenti di lantai yang mereka tuju. Vano melangkah terlebih dahulu. Ia berhenti di depan salah satu pintu dan memasukkan sandi apartemennya. Dan begitu pintu itu ia buka, Vano kaget bukan main karena mendapati El--kekasih tersayangnya--tengah tertidur dengan posisi yang sangat tidak nyaman di dekat pintu.

Koko mengelus dadanya karena ikut terkejut melihat El, tertidur di dekat pintu dengan tubuh yang tergulung selimut seperti ulat bulu.

"Kaget gue, gue kira apaan tadi, uget-uget gitu," ujar Koko.

Vano segera menghampiri si kecil tersebut. Tangannya menyentuh pipi El yang terasa panas.

Dahi El mengerut pelan. Lalu, membuka kedua matanya dengan perlahan, "...ungh Pano?.."

"Kenapa kamu ngga bilang kalo sakit?" tanya Alvano khawatir. Tadi pagi, dia memang merasa, bahwa suhu tubuh El lebih hangat dari biasanya. Tapi, karena El tidak mengeluh apapun, ia kira itu bukan suatu hal yang harus dikhawatirkan.

Dengan sigap, Vano menggendong tubuh yang tergulung selimut itu dengan bridal style. El refleks menyandarkan kepalanya di dada bidang Vano. Setelah merasa bahwa El tidak akan jatuh dari gendongannya, barulah si tinggi itu menoleh ke arah teman-temannya.

"Masuk aja. Bentar ya, gue mau ngurusin El dulu," ujarnya dan segera berlalu tanpa mendengar balasan dari mereka.

Dahi Koko mengerut, lalu ia melirik ke arah Mei. Mei mengerjap dan melirik Bayu. Lalu, Bayu ikut melirik ke arah Chikal. Chikal yang melihat mereka saling melirik mengerut bingung, "Ini kalian kenapa saling lirik-lirikan?"

Happiness [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang