ABIS SENANG TERBITLAH NESTAPA

50 0 0
                                    


Badannya lebih gede dan lebih tinggi. Mukanya sangar. Berkali-kali aku pukul dia bergeming. Aku harus menghindari setiap pukulannya yang kelihatannya sangat keras. Namun sepandai-pandainya kodok melompat, akhirnya kecebur juga.

Benar aja. Satu pukulan bisa aku hindari. Tapi aku lengah dengan tangannya yang lain.

TUK TUK TUK!

Aku meringis. Ada yang mengetuk kepalaku cukup keras. Sakit.

"Dasar sleepy head!"

Masih dengan mata sepet dan kriyip-kriyip, aku lihat wajah Sinta manyun.

"Wadaw!!" teriakku kaget, melonjak ke belakang.

Mata Sinta melotot ke arahku. Wajahnya yang manyun aja udah serem, sekarang tambah matanya membesar.

"Astaghfirullah.....kirain nenek sihir," ucapku sambil mengelus-ngelus dada.

Terdengar Rama ngakak keras di sebelahku.

Aku menoleh ke Rama. Lalu memukul bahunya.

"Kasihan Sinta dikira nenek sihir," Rama masih ketawa.

Aku melihat suasana sekitar. Ternyata acara wisuda telah usai. Suasana cukup gaduh. Para wisudawan asyik berfoto-ria.

"Sintaaaaaa! Ayo sini! Foto bareng aku!"

Sebuah suara cempreng mengagetkan kami bertiga. Hampir bersamaan kami memandang ke arah sumber suara itu.

Arumi! Cewek centil yang ngga pernah bisa gede. Kenapa ngga bisa gede? Itu sebutan kami seangkatan padanya mulai semester lima. Karena sejak kami saling kenal, sampe sekarang Arumi tetap aja bertubuh mungil dan bersikap centil.

"Tuh dicari bonekamu!" ujarku pada Sinta sambil cengingisan.

Sinta menoleh ke arahku, lalu memukul bahuku sambil pasang muka cemberut. Setelah itu ia berlari ke arah Arumi.

Sinta dan Arumi emang sahabat karib. Mereka berteman sejak SMA. Lucunya, Sinta itu tomboy dan posturnya cukup tinggi bagi kebanyakan cewek. Sementara Arumi mungil, centil, kelihatan cewek banget. Padahal kalau mereka berdiri bersebelahan, tinggi Arumi cuman sebahu Sinta. Mungkin kalian mengira mereka berdua cowok dan cewek yang pacaran.

Pernah kok anak fakultas lain yang baru kenal Arumi, dan ngaku suka, kaget ketika ketemu Sinta. Dikira Sinta itu cowoknya Arumi. Gokil kan? Hehe...

Tapi udahlah. Lupakan Sinta dan Arumi. Sekarang tinggal aku dan Rama. Yang pasti kami bukan pasangan gay. Kami cowok normal semua kok. Ngga pernah nangis-nangis bareng. Ngga pernah saling berpelukan kayak Teletubbies. Ngga pernah tidur seranjang, kalau sekamar sih pernah, tapi tidur ya ngorok aja, ngga pake pegang-pegangan.

"Acara kita jadi ngga, abis ini?" tanya Rama.

"Jadi dong. Kita nunggu yang lain. Itu juga Sinta dan Arumi lagi asyik." jawabku sambil mengamati keriuhan sekitar.

"Kalau jadi, trus rencananya gimana?" tanya Rama lagi.

"Baiknya, aku balik dulu ke kos," jawabku.

"Lho?" Wajah Rama menunjukkan keheranan. Rencana semula emang ngga gitu.

"Aku baru inget, ternyata HPku ketinggalan di kos," jelasku pada Rama.

"Oke, kalau gitu cepetan sana! Hush! Hush!" Rama berlagak mengusir.

Aku mencibir mangkel. Tapi aku ngga peduli. Segera aku harus kembali ke kos dan mengambil barang yang sangat berharga bagi anak milenial jaman sekarang itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 31, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dosen KoplakWhere stories live. Discover now