The Vow

19.6K 2.6K 570
                                    

Aku kasihan sama Archie. Dia seperti mau menangis, tapi terlalu gengsi untuk mengeluarkan air mata. Bahkan waktu Mom bertanya, dia cuma menjawab dengan senyum simpul menggemaskan saja. Lalu, dia menghabiskan waktu di kamar. Waktu kuintip, ternyata dia sedang bermain dengan robot. Kali ini dia main tanpa suara.

"Mau kutemani?" tanyaku sambil duduk di sampingnya.

Dia menjawabku dengan anggukan, lalu memberiku salah satu koleksi Jaeger-nya. (Jaeger itu nama robot di film Pacific Rim) Ini aneh. Biasanya aku selalu jadi Kaiju saja kalau main sama dia. (Kaiju itu nama monsternya.)

Dia menarik napas dalam-dalam. "Kenapa manusia harus mati, sih? Kenapa bukan hewan saja yang mati?"

Aku baru mau buka mulut, dia sudah bilang, "Jangan keluarkan teori nanti-dunia-penuhnya mommy."

"Tapi memang gitu, kan? Kalau manusia nggak ada yang mati dan hewan mati semua, nanti dunia penuh terus nggak ada lagi hewan buat dimakan dan tanah buat menanam tumbuhan. Kamu nggak bisa makan bakso dan ayahmu nggak bisa makan ceker kesukaannya. Manusia bisa saling memangsa karena lapar."

"Manusia bisa bikin apartemen yang tinggi sekali untuk tempat tinggal. Biar di sampingnya bisa jadi sawah dan ladang."

"Terus, sekolahan bakal penuh banget, Archie. Nggak semua orang sepintar orang-orang di rumah ini. Nggak semua orang bisa mengajar anak mereka sendiri. Kita juga nggak akan bisa lari-larian karena jalanan penuh sama orang."

"Tapi, kenapa harus orang-orang yang kita sayang? Kenapa bukan orang lain?"

Kuhela napas panjang beberapa kali, tapi ternyata aku tetap menangis juga. "Aku tahu kok kematian itu rasanya sakit banget. Kadang, aku pengin nangis yang banyak. Tapi, aku malu. Ayahku menahan sakit sendirian tanpa menangis. Kenapa aku yang cuma ditinggalkan harus menangis? Lebih sakit mana hidup dengan rasa sakit terus menerus atau ditinggalkan?" Kutarik napas dalam-dalam lagi, lalu kuhapus air mataku. "Heath pernah bilang, kan, kalau kita cinta sama orang, kita harus memberikan kebahagiaan untuknya? Mungkin kebahagiaan Val adalah lepas dari penyakitnya."

Archie mengangguk. Dia mengulurkan jaket yang baru dilepasnya untuk mengelap air mata dan ingusku.

"Kalau kita nangis, berarti kita egois?"

Aku menggeleng. Sebenarnya, aku sendiri pengin dibilang egois kalau memang itu bisa membuatku menangis yang keras sampai lega. Kali ini, aku lagi malas jadi cewek kuat seperti mauya Daddy.

"Nggak tahu," kataku sebelum menutup wajah dengan jaket Archie dan menangis keras-keras. Archie memelukku dengan tangan kecilnya. Kayaknya, dia menangis juga soalnya rambutku basah.

Waktu aku membuka mata, di pintu kamar, Drey tersenyum sebentar sebelum menutup pintu lagi. Mungkin dia memberi kesempatan padaku dan Archie untuk berduka.

Keesokan harinya, Archie ngotot ikut ke pemakaman Val. Jadi, kami pergi berempat menemani Val dari di rumah sampai ke pemakaman. Nggak ada orang lain yang datang selain kami dan beberapa pekerja yang mengurus mayat Val. Pak Rubinho menyuruh orang mendandani Val sampai cantik sekali. Di dalam peti, dia juga meletakkan beberapa buku anak buatannya di sebelah Val.

Val terlihat seperti sedang tidur. Kubayangkan Val memang hanya sedang tidur. Dia dibawa ke suatu tempat untuk tidur dan menenangkan diri. Yah, seperti Heath yang waktu itu katanya mau berobat. Drey bilang dia pergi untuk menenangkan diri selama dua bulan. Kubayangkan, Val begitu juga. Semoga saja dua bulan nanti aku dan Archie benar-benar bisa melupakan kesedihan hari ini.

Archie nggak ngomong sama sekali. Ini yang paling menakutkan. Seharusnya kan dia ngoceh terus. Setelah pemakaman selesai, dia memeluk Pak Rubinho tanpa bicara juga. Dia cuma menepuk bahu Pak Rubinho beberapa kali.

Unbroken Vow (Terbit; Shinnamedia)Where stories live. Discover now