8- Debar

1.5K 268 32
                                    

“Hawah dwua mwinggwu dwoang, manja banget,” cibir Renjun sambil mengunyah nasi.

Mama sudah melolot dari kursi seberang, tapi Renjun tidak perduli. Tangannya terus menyendok nasi sedang ponselnya ia jepit diantara telinga dan bahu kiri.

“Sengaja itu biar kamu nggak pacaran mulu,”

Ningning merengek diseberang sana. “Halah kamu sendiri juga pacaran gimana sih!”

“Ya kalo kamu nggak ngajak mah aku nggak pacaran sehari juga bisa.”

“Huft. Yaudah nih telfonan terakhir sebelum aku nggak ngabarin dua minggu. Bilang apa gitu yang romantis,” suruhnya.

Renjun terdiam sejenak, menelan nasi yang telah ia kunyah. Lalu kembali bicara. “Jaga diri, nggak usah centil, jangan manja, jangan caper, nanti nggak punya temen.”

Itumah kata romantis apa hinaan???

Renjun tersenyum kecil. “Udah sana, kasian yang nungguin. Selamat bersenang senang adik manis,”

-pip-

“Simpen dulu hapenya, makan yang bener. Kurangajar kamu ya kalo nggak ada Ayah,” peringat Mama membuat Renjun buru buru meletakkan ponselnya.

Kemudian nyengir. “Jangan marah marah mulu dong, makin keliatan tuh keriputnya,”

Renjun terbahak begitu Mama refleks menyentuh wajahnya, merasakan keriput yang dimaksud anaknya itu. Tapi jelas lah Renjun berbohong, Mama selalu perawatan setiap bulan, bah wajahnya mah selalu cantik berseri.

“Abang tuh yang makin keliatan tua,” celetuk Renna, adik Renjun ikut menimpali.

Renjun langsung menoleh, memberikan tatapan nggak-usah-ikut-bicara pada adiknya itu.

Renna mencibir. “Sukurin tuh Teh Ningning bilang pergi pelatihan duaminggu tuh sebenernya mau cari cowok baru, nggak betah sama Abang yang galak begini,”

Entah karena ini, atau memang semua kakak laki laki selalu membenci adiknya? Sejak kecil, Renjun tidak pernah bisa menerima kehadiran adiknya itu. Mengganggu, banyak omong, dan selalu merebut apa yang dia punya. Tidak terkecuali kasih sayang Mama dan Ayahnya.

Kadang dia juga berpikir, kalau seandainya Renna tidak pernah lahir, pasti Ayah tidak akan bekerja sesibuk ini. Pasti Ayah lebih memilih bekerja seperti Ayah Ayah lain yang masih punya waktu untuk menonton bola dengan anak laki lakinya.

“Abang nggak boleh gitu ah, diajak adek ngobrol itu lho,” kata Mama karena Renjun kembali sibuk dengan makanannya tanpa menghiraukan kalimat kalimat adiknya.

Renjun mendengus. “Itu namanya bukan ngajak ngomong, tapi ngajak berantem.”

Renjun beranjak pergi, setelah sebelumnya meminum air tanda menyelesaikan makan. Dia tidak suka Mama membela Renna, dia tidak suka Renna lebih dapat perhatian dari Mama hanya karena dia perempuan, dia tidak suka kehadiran anak itu.

Walaupun dewasa ini dia sudah sedikit bisa mengerti dan menerima Renna sebagai adiknya, tetap saja, terkadang, dimata Renjun, Renna hanya anak yang mengambil banyak hal darinya.

-

Renjun mengedarkan pandangannya, mencari setidaknya foto keluarga, atau foto kelulusan Saeron tergantung di dinding ruang keluarga. Tapi nihil, hanya ada lukisan lukisan ornamen kuno yang memenuhi dinding putih itu.

Suara pintu terbuka menginterupsi ruangan dingin tersebut. Membuat mata Renjun ikut mengalihkan atensinya kearah suara, hanya untuk menemukan Saeron yang keluar dari dalam kamar sembari mengikat rambut bergelombangnya.

Sofa • Renjun × SaeronWhere stories live. Discover now