Nikotin dan Kafein | 02

394 45 2
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

"Sebenernya kamu ini niat kerja nggak sih? Setiap hari datangnya telat, kamu pikir ini cafe punya bapak kamu? ... "

"Kalau ini cafe punya bokap gue, lo yang duluan gue tendang." Fei menggerutu pelan.

"Bilang apa kamu?!"

"Iya, Pak. Besok saya nggak akan dateng telat lagi."

"Alah! Klise, kuping saya udah pegel dengar omongan kamu yang itu. Pokoknya saya nggak mau tau, kalau besok kamu telat lagi," laki-laki gemuk itu menunjuk Fei, "saya pecat kamu."

Interaksinya dengan pemilik kafe tempatnya bekerja kemarin malam itu, masih setia mengusik Fei. Kalau saja yang menyermahinya itu guru BK, ia tidak akan pikir dua kali untuk melenggang pergi dan mendadak tuli. Tapi ini, orang yang—meski enggan mengakui—berjasa memberinya makan hingga masih bisa duduk dengan punggung tegak di kursi metromini sekarang.

Sejak duduk di bangku SMP, Fei sudah tidak asing dengan yang namanya pekerjaan paruh waktu. Mulai dari yang jadi kurir pengantar nasi warteg untuk penjual-penjual toko di pasar, sempat juga freelance nambal ban, dan yang terakhir ini, yang setidaknya bisa sedikit membuktikan kalau strata pendidikan bisa sedikit membuka peluang kerja, jadi waitress. Tapi tetap saja, ujung-ujungnya babu juga.

Hidup di bawah garis kemiskinan, mau tak mau memaksa Fei untuk menghamba pada uang di atas segalanya. Belum lagi ayahnya yang seharusnya jadi tulang punggung keluarga, berubah haluan jadi tulang ikan yang menyangkut di tenggorokan. Pengangguran tidak sadar diri. Hobinya elit. Bukan koleksi lamborgini atau motor gede. Tapi alkohol, judi dan ngobat.

Orang tuanya berpisah bahkan sebelum Fei bisa membedakan yang mana susu, yang mana air rebusan nasi. Artinya itu sudah sangat lama. Saat Fei mulai bisa mengingat, ia memang sudah tinggal dengan ayahnya yang tukang pukul itu. Setidaknya, sebelum kepergian ayahnya dalam kasus overdosis, laki-laki itu sempat menceritakan sedikit tetang sang ibu. Katanya saat pergi, Ibu membawa adiknya yang setahun lebih muda dari Fei dan sekarang sudah hidup enak dengan suami barunya.

Kesimpulannya, hidup Fei kacau.

Tidak. Jangan berpikir Fei akan mengatasnamakan broken home sebagai alasannya menjadi pribadi yang sulit diarahkan. Asal tahu saja, ia tidak semenyedihkan itu.

Lagipula, ia tidak seburuk itu 'kan?

Kecuali rokok yang menyelip di bibirnya saat ini dan membuat si kernet metromini sebentar lagi menegurnya untuk yang kesekian kali. Ini murni karena—

"Singkirin rokok lo sekarang atau gue tendang lo keluar."

Tuh kan!

Fei mendelik sebal ke arah cowok yang lebih muda darinya itu. "Nggak tau aja lo nyedepinnya gimana ini barang."

Hanya kelakar. Karena setelah melihat tatapan tajam anak laki-laki itu, tawa Fei menggelegar. Ia menyimpan lagi rokoknya yang tinggal sebatang itu ke dalam saku kemeja. Dulu, waktu awal-awal ia menumpang metromini ini, Jaya—si kernet ini—tidak memedulikannya sekalipun ia akan menghabiskan sebungkus rokok dalam sekali dudukan. Namun, setelah dua tahun belakangan, langganan pulang-pergi sekolah atau tempat kerja dengan metromini ini, Jaya mulai berani menegur Fei. Walau jalanan itu rumahnya, Fei memuji bagaimana anak yang seharusnya duduk di bangku SMP itu tidak terpengaruh untuk menyecap rokok.

Nikotin dan KafeinWhere stories live. Discover now