Epilog

102 23 19
                                    

Semburat emas pada bola cahaya itu perlahan meredup, terhalang megahnya mega mendung di atas langit Ibu Kota. Hawa panas yang bercampur lembap menjadi pembawa kabar utama di pagi hari tentang kedatangan sang hujan yang akan hadir tak lama lagi.

Dari rintik hingga ke lebat. Hujan pun kini turun. Derasnya seperti dicurahkan langsung dari cerek langit ke cawan bumi oleh para Dewa.

Alyamen Des, gadis berparas sendu namun indah bak putri dari negeri dongeng ini mencebikkan bibirnya tanda ia sedang tak senang terhadap sesuatu. Wajahnya muram seperti ingin bersaing dengan sang awan. Gelisah dan kesal bercampur satu, membuatnya tanpa sadar menggigiti ujung jari kuku tangannya berkali-kali.

Bagaimana tidak? Lyam terpaksa harus terbangun dengan tampang kusut dan menyedihkannya itu di dalam kelas dengan perasaan malu yang mengakar hingga ke dasar bumi. Diiringi tawa keras dari teman-temannya yang tampak puas karena merasa terhibur saat adegan sadis Bu Guru Natt yang bertubi-tubi melemparkan kapur tulis warna-warni itu tepat ke atas ubun-ubun Lyam itu terjadi.

Mulut Bu Natt yang seakan tak bisa berhenti mengoceh itu memborbardir Lyam dengan banyak omelan. Mereka benar-benar tampak bersenang-senang di atas kesengsaraan Lyam, yeah, sungguh hari yang sempurna untuk makan mentimun perak satu kontainer.

Eh? Timun perak?

Lyam seperti teringat akan sesuatu yang seharusnya sedang ia lakukan saat ini. Mata bulat dan iris birunya mengerjap-ngerjap, berharap dengan begitu ingatannya yang terpotong-potong akan ia dapatkan kembali. Kedua telinganya benar-benar tertutup, ia tak menggubris sama sekali teriakan Bu Natt yang membahana. Lyam sampai tak sadar jika suara cekikikan dari teman sebangkunya pun telah menghilang, berganti dengan ringisan ngeri akibat amukan Bu Natt yang kecewa karena diperlakukan acuh tak acuh oleh muridnya sendiri.

Ya, Lyam terlalu sibuk dengan urusannya.

Hmmh, timun perak. Sepertinya tak asing. Apa aku baru terbangun dari mimpiku yang berhubungan dengan timun perak itu sendiri ya?

Seperti itulah Lyam berpikir.

"Lyam, kamu berani sekali ya tak mengacuhkan ibu? Berdiri di depan kelas sekarang juga!!" teriak Bu Natt lantang.

Malas-malasan, Lyam berjalan sempoyongan mengitari bangku yang ia tempati ke arah Bu Natt yang berkacak pinggang. Tatapannya pada Lyam horor sekali, sudah seperti ingin menelannya bulat-bulat saja.

Jelas saja Bu Natt sebegitu marahnya, perilaku Lyam yang seperti ini bukanlah yang kali pertama. Masih jelas diingatan guru muda ini, Lyam pernah tertidur nyenyak di atas bangkunya bahkan sebelum bel masuk di sekolah berbunyi. Ditambah dengkuran khasnya yang super menyakitkan gendang telinga siapapun yang mendengarnya. Huh, kepala Bu Natt langsung berdenyut nyeri hanya dengan mengingat sedikit saja tentang satu murid luar biasanya itu.

"Kamu tahu tidak, sedari tadi ibu mengoceh soal apa?" tanya Bu Natt sesampainya Lyam di depan kelas. Gadis itu berdiri membelakangi papan tulis hijau dan menjawab pertanyaan dari Bu Natt barusan dengan gelengan pelan.

Bu Natt menepuk jidatnya, kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hari ini kita kedatangan teman baru, Lyam. Dia berasal dari pulau seberang."

Lyam membentuk huruf O besar lewat bibir mungil merah mudanya, tanda mengerti.

"Namanya Casstor—"

Ada hal yang tidak Lyam mengerti. Tiba-tiba saja setelah ia mendengar nama itu disebutkan oleh Bu Natt, dadanya terasa panas seperti terbakar. Lyam sampai melenguh kesakitan, tubuhnya membungkuk menahan rasa perih. Ah, apa ini? Lyam merasa tangannya menyentuh sesuatu. Hmmh, sepertinya kalung. Sejak kapan aku pakai kalung berlian yang kelihatan mahal seperti ini?

"Ah, panjang umur. Yang dibicarakan ternyata sudah ada. Silakan masuk, Cass. Perkenalkan dirimu pada teman-teman barumu!"

Cass???

Bu Natt tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi pada sosok pemuda yang muncul dari balik pintu.

Tubuhnya yang jangkung, kulitnya yang putih pucat, dan kemeja seragam kotak-kotak khas sekolah ini yang sama berantakannya dengan rambutnya yang ikal itu seketika menjadi pusat perhatian anak-anak di dalam kelas. Tak terkecuali Lyam. Gadis ini sampai berani bertaruh jika laki-laki yang berdiri memunggunginya ini pastilah terburu-buru datang kemari hingga bisa berpenampilan menyedihkan seperti itu.

Lyam tertawa pelan, nyaris melupakan sakit pada dadanya karena reaksi kalung berlian tadi.

Tawa kecil dari bibir Lyam itu ternyata menarik perhatian seseorang. Ya, Casstor.
Pemuda yang ternyata memiliki tatapan mata setajam elang ini menolehkan kepalanya pada gadis yang berdiri di belakangnya, hingga membuat Lyam tersentak kaget dan menghentikan napasnya barang sedetik.

Ada yang aneh dengan pemuda ini. Lyam tak bisa melepaskan pandangannya. Seolah ada benang yang tak kasat, yang mengikat mata Lyam agar tetap terhubung pada iris si Casstor ini.

Hitam. Gelap.

"Aura milik Castor menyeramkan sekali," batin Lyam.

Karena tegang, tangan Lyam kembali meremas kalung yang melilit lehernya. Sepertinya Lyam telah benar-benar membuat Casstor penasaran. Buktinya, pemuda ini mengikuti setiap gerakan apapun yang Lyam lakukan.

"Hallo, namaku Casstor. Orang-orang ditempatku biasa memanggilku Cass Si Cerdik ...."

Suara bariton milik Casstor mulai terdengar, seakan menyihir semua orang di dalam kelas untuk tetap terpaku pada posisinya. Ya, Casstor seolah telah menghentikan waktu di sekitarnya dan hanya ia seorang yang bisa bergerak mendekati Lyam.

Itu mengerikan, bukan?
Ketika seseorang yang baru saja kau temui, bertingkah seolah telah lama mengenalimu.

Ketika seseorang yang baru saja kau temui, tersenyum misterius seolah ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari.

Percayalah, itu benar-benar mengerikan.
Ketika tubuhmu bergerak di luar keinginanmu sendiri. Seperti Lyam, yang membalas senyuman milik Casstor seolah ia lega, karena telah ditemukan seseorang yang lama dinantinya.





The End

KANCIL & TIMUN PERAK (Siluet Berkarya)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora