Lima

61 8 0
                                    


(11)

"Loe bakalan baik-baik aja, Scipio." Cori mengacak rambutku.

Aku sudah lelah menepis tangannya, jadi kubiarkan saja. Ya, setelah malam dia menginap di rumahku beberapa hari lalu, Cori selalu datang ke rumah setiap hari. Celakanya lagi, Bunda sangat senang melihat Cori berkeliaran di kamarku dan aku jadi tidak bisa menolak kehadiran bocah jinx satu ini.

Dia emang pembawa sial. Aku jadi repot tiap hari harus mengantar jemputnya ke sekolah. Entah kenapa aku merasa seperti dijadikan sopir pribadi.

"Loe tau gak sih, apa itu sindrom Immortal?" gumamku.

Cori bilang aku bakal baik-baik saja? Dia mimpi di siang bolong. Atau otaknya yang konslet berhasil mengubah cowok itu jadi idiot. Tunggu dulu. Dia emang sinting dan idiot! Itu berita basi. Iya, aku tahu. Lagi-lagi aku mencoba bersikap sinis.

"Gue udah pernah bilang sama loe, Scipio. Achieve the Dao, gain eternity.. failure, never be reborn!" Cori mengembangkan kedua tangan penuh semangat. "Itu lah esensi dari Immortal Ascencion."

"Salah gue ngomong sama bocah sinting!" gerutuku.

"Immortal Ascencion emang sulit, tapi bukan hal mustahil. Langit gak bakal menutup semua jalan, loe harus percaya itu!"

Kuputar mataku dengan sinis. "Stres gue sama loe!"

"Agra.. Cori kan cuma pengen ngibur kamu. Jangan ketus begitu!"

Setelah seminggu menjadi 'adik angkatku', Ayah dan Bunda akhirnya sadar ada yang 'berbeda' dengan Cori. Tapi itu tidak membuat mereka jadi ilfil atau apa. Malah, mereka jadi lebih sayang sama Cori. Aku cuma bisa memutar mata tiap kali mereka membela Cori. Seolah aku ini cuma anak tiri, dan Cori lah putra kandung mereka.

"Kalo Agra mati, Bunda nanti ngadopsi Cori aja!" gumamku sebal.

"Agra!" Bunda sedikit histeris.

"Aku cuma becanda."

Bunda berkaca-kaca. Detik itu juga aku menyesali ucapanku yang keterlaluan. Cori menjitak kepalaku. "Loe jangan bikin Bunda nangis!"

Aargh! Bocah ini! Beraninya dia menjitak kepalaku!

"Gue pengen nemenin loe, Scipio."

"Hah?"

Aku sudah biasa menghadapi jalan pikiran Cori yang suka melompat-lompat, tapi kali ini aku tidak paham apa yang dia maksud.

"Serangan kali ini.. gue mau nemenin loe di sini."

"Enggak boleh!" tolakku mentah-mentah.

Sejak SMA, aku tidak mengijinkan siapa pun berada di kamarku saat aku mendapat serangan. Termasuk Ayah dan Bunda. Aku tidak mau mereka merana melihat putra mereka menggeliat seperti sapi yang baru saja masuk ruang jagal.

"Loe gak usah malu. Semua orang pasti punya momen dimana kita terlihat lemah. Itu lah fungsi keluarga, tempat loe berbagi suka dan duka. Gue selalu nerima loe apa adanya, Scipio. Lebih dan kurang loe. Karena gue abang loe, ingat?"

"Ingat, gundulmu!" aku menggerutu sebal, tidak tahu lagi harus gimana meladeni bocah sarap satu ini.

"Bunda setuju Cori nemenin kamu, Agra."

"Agra gak mau, Bun!" aku berkeras.

"Selama ini Dokter Nababan gak setuju kamu mengurung diri di kamar seorang diri saat kamu mengalami serangan." Kali ini suara Ayah.

Dia tidak sedang ikut-ikutan menyudutkanku juga kan? Apa tidak ada lagi orang yang mau berpihak padaku?

"Kamu mengusir semua dokter dan perawat, menyetel musik terkutuk itu keras-keras, meminta Ayah sama Bunda menunggu di luar. Selama ini Ayah selalu mengalah sama kamu," ucap Ayah lambat-lambat.

1001 Samsara: Jiwa AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang