Tiga | (Bad) Memories

183 106 79
                                    


PLAKK!

"Baj*Ngan kamu! Ga diuntung sudah saya biayai kuliah! Begini kamu membalas budi?"

"Kalo saya baj*ngan, maka benar. Saya keturunan Anda. Suami mana yang menghajar istrinya sampai harus masuk rumah sakit? Anda bahkan lebih baj*ngan daripada saya."

Tangan lelaki paruh baya itu kembali menghantam pipi anaknya sendiri. Setelah genap emat kali, lalu dibanting ke lantai begitu saja.

"BOCAH GA ADA OTAK! KAMU PIKIR IBU MU ITU BENER? DIA SELINGKUHI SAYA ASAL KAMU TAHU!"

"Bukti apa yang ada punya?" Getar di bibir anak lelaki berusia 21 tahun itu ditahan, tetapi untuk darah yg tiba-tiba muncul di ujung bibir menetes begitu saja.

"Anak ga tahu--"

"Pergi dari sini M-Mas! Atau saya akan tuntut kamu!" Sang Ibu menangis tak terima. Pakaian pasiennya terkena darah milik anaknya sendiri setelah ia usap sayang pipi sang anak.

"ISTRI KURANG AJARR! SINI KAMU--"

"BERANI ANDA SENTUH DIA LAGI. SAYA BERSUMPAH AKAN MEMBUAT ANDA MENYESAL." Kevan berdiri menarik kerah sang ayah hingga laki-laki paruh baya di depannya kesusahan bernapas.

Tangan halus Mia meraih lengan putra semata wayangnya. "Kevan ... Nak, lepas. Sudah. Lepas." Terisak lagi si ibu, Kevan melepas genggaman pada kerah milik ayahnya dan beralih meraih pipi ibunya yang sudah basah.

"Pergi saja, Mas."

"Awas kamu! Kalau kamu berulah lagi dengan mengancam saya, saya habisi anak kamu!" Rony menunjuk Mia dengan tangan penuh amarah.

Percaya akan yang orang-orang kampus yang bilang kalau Kevan adalah manusia sempurna? Yang katanya tampan, idaman banyak perempuan, kaya, anak BEM, pintar, bahkan terkenal.

Sayang mereka tidak tahu saja, bahkan yang katanya sempurna ... nyatanya hancur begini.

"Kevan, Nak ... makan dulu. Kamu berangkat kuliah. Kemarin kan sudah ga masuk."

"Nggak mau, Bu. Kevan mau jagain Ibu."

Mia tak kuat melihat anaknya yang setiap hari harus mengurusinya di rumah sakit pun menjatuhkan air mata untuk kesekian kalinya. "Maafin, Ibu dan Bapak, ya, Kevan ...."

Sial. Bagian terpenting dalam hidupnya sudah sehancur ini.

***

*flasback*

"Kak."

"Hm?"

"Mau nanya, boleh?"

Kevan tersenyum tipis. Sungguh itu satu dari banyak hal yang Wisha paling sukai di dunia. "Iya, boleh. Kamu mau nanya apa, Wish?"

Ketika yang lain memanggilnya dengan sebutan "Sha" hanya orang ini yang memanggilnya seperti itu. Wish, yang artinya harapan.


Dia berharap, kenapa Kevan memanggilnya seperti itu, sama seperti arti yang ia ucapkan, bahwa dia adalah harapannya. Dia adalah ... apa yang benar-benar Kevan mau. Bukan seperti rumor yang tersebar, bahwa dirinya hanya pengalihan isu, bahwa Kevan sebenarnya ....

Catching the starsOù les histoires vivent. Découvrez maintenant