#02

52 7 0
                                    

Terhitung sudah dua bulan lebih semenjak hari pemakaman dan ini pertama kali bagi si kakek untuk kembali mengunjungi pusara sang sahabat.

Bukan tanpa alasan dia melakukannya.

Semalam dia baru saja bermimpi tentang Jimin muda yang mengenakan tuksedo hitam lengkap dengan tatanan rambut yang dibuat sedemikian rapi, membuat dirinya terkesima melihat wajah berseri nan tampan sang sahabat.


Di dalam mimpinya Jimin tak berkata apa-apa, hanya memberikan senyuman khas miliknya sembari mengulurkan tangan. 


Awalnya dia sempat ragu untuk menyambut uluran tangan tersebut, hingga ketika tangannya terangkat untuk menjabat, sosok Jimin perlahan bergerak menjauh. Ia pun memutuskan untuk mengejar namun yang ia dapatkan hanya udara kosong. 


Hampa.


"Aku sudah di sini, apa kau masih merindukanku?" si kakek berujar lirih. "Ini kubawakan lagi bunga kesukaanmu." Ia meletakkan sebuket kecil bunga krisan perak, menyandarkannya pada batu nisan. 


Setelahnya hening. Si kakek tak lagi mengucapkan kata, sepertinya ia sedang berpikir sembari menatap pusara di depannya.


Anehnya sebuah senyum tergurat kecil di wajah keriputnya. Dia baru saja menyadari satu hal yang menurutnya lucu dan—mungkin—aneh.


Serius, ia bahkan berani bertaruh jika orang lain yang melihatnya pasti juga akan berpikir, kenapa ada bunga krisan perak di pemakaman? Memang pantas disebut aneh lantaran orang-orang biasa membawa bunga anyelir, lily, gladiol ataupun mawar sebagai lambang berduka cita.


Tetapi dia tidak pernah berpikir begitu. Jimin menyukai krisan perak, dan Jimin sering memberinya bunga tersebut ketika mereka memiliki hari perayaan.


Dulu sekali ia sempat bertanya pada Jimin kenapa selalu memberikan bunga yang sama padahal dia tidak terlalu menyukai krisan perak. Dan jawaban yang ia dapat cukup membuatnya tertegun sekaligus geli pada saat itu.


Jimin menjelaskan bahwa krisan perak merupakan simbol cinta untuk sahabat. Karena mereka bersahabat dan Jimin sangat menyayangi dirinya, maka dia selalu memberinya bunga tersebut.


"Bagaimana kabarmu di sana? Apa kau sudah bertemu bidadari cantik?" ia diam sebentar, sesudah itu ekspresinya berubah lesu. "Ah, enaknya. Sementara aku di sini hanya semakin tua dan lemah."


Baginya waktu berjalan begitu cepat sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa mereka—hanya Jimin—sudah berada di akhir perjalanan.


Rasanya baru kemarin mereka bertemu dan saling memperkenalkan diri, bercanda, bertengkar, berbagi keluh-kesah, membangun mimpi bersama hingga akhirnya bertemu dengan pasangan hidup masing-masing dan memiliki keturunan. 


Tanpa disadari waktu telah mengubah mereka untuk menjadi terbiasa hidup bersama dan saling bergantung satu sama lain.


"Aku iri," ujarnya lirih nyaris berbisik. Ujung jemarinya bergerak pelan di atas ukiran nama dengan pandangan mulai kosong. "Tidak bisakah kau mengajakku bersamamu?" dia menunduk kala merasakan sudut matanya sedikit berair.

AQUAMARINEWhere stories live. Discover now