Prolog

81 1 0
                                    


Kevin tertawa bersamaku, tawanya terdengar lepas, begitu bahagia. Matanya jadi semakin kecil ketika rongga mulutnya terbuka. Aku suka, suka segala hal tentang kakakku. Dia teman terbaikku sejak kecil. Dia ada di posisi kedua setelah orangtuaku, cinta kedua ku setelah papa. Papa kebanggaanku, pahlawan favoritku.

"Sudah, lanjutkan makanmu. Nanti kalau makan sambil tertawa kamu bisa tersedak," ujar papa pada Kevin.

Aku memasang wajah cemberut karena sebenarnya yang ditertawakan Kevin itu aku. Ya mungkin, punya kakak laki-laki juga berarti aku selalu jadi bahan ejekan dan candaannya. Tidak hanya itu, perlu dicatat. Kevin juga sering melingkarkan lengannya di leher ku. Ia ingin pamer karena tubuhnya yang tinggi dan aku yang hanya setinggi bahunya, sejak dulu, begitu katanya. Kevin bilang percuma saja aku makan banyak karena aku tidak akan bertambah tinggi. Dia selalu mengejekku seperti itu. Tapi tetap saja, matanya yang sipit itu akan menyipit dengan sinis seakan ia bisa membunuhmu ketika ia melihat Rico melakukan hal yang sama dengan nya. Satu rahasia yang harus ku beri tahu. Kevin adalah tipe kakak yang mudah cemburu dan posesif pada adiknya.

Mama datang membawakan tiga gelas es jeruk untuk kami. Dia sosok ibu rumah tangga yang menyayangi anak-anaknya sama seperti ibu lainnya. Aku dan Kevin bangga menjadi bagian dari keluarga ini, keluarga yang hangat dengan ibu yang lembut dan penuh kasih sayang serta ayah yang sangat melindungi keluarganya.

"Teruskan hobi menggambarmu. Kamu mungkin bisa jadi creator atau arsitek," pesan papa pada Kevin.

"Lalu bangun rumah untuk mama," sambung mama.

"Siap," jawab Kevin sembari memberi hormat pada papa dan mama.

Aku tersenyum. Semua terasa sempurna, begitu sempurna sampai aku tak menyadari bahwa ini mungkin hanya mimpi. Tidak, ini benar-benar mimpi. Aku menyadarinya ketika pelan-pelan semua samar. Aku menyadarinya ketika senyum di wajah Kevin hilang, benar-benar hilang dan matanya tak seteduh tadi. Aku menyadarinya ketika papa pelan-pelan samar, lalu menghilang seperti asap. Mama, dia jadi berbeda, bergerak dengan cepat, bukan dengan baju rumah kesayangannya. Kedua tangannya sibuk menggenggam tablet, berkas, dan berbicara di telepon. Dahinya berkerut, tetap terlihat meski ia sudah menutupinya dengan make up dengan dominasi warna pink cerah. Semua berubah dan kehangatan itu hilang.

ImperfectWhere stories live. Discover now