Wiken 19 Jan 19

2 0 0
                                    

Hujan mengguyur Jakarta pagi ini. Membuat seorang pria menggeliat malas di balik selimut tebalnya. Ia duduk dan menguap, melirik sekilas jam di meja. Jam tujuh pagi. Harusnya, ia masih terbaring nyaman di kasur dengan lilitan selimut. Tapi, pagi ini ia harus berangkat ke kantor karena deadline yang sudah dekat.

"Hoy, Ren. Kerjaan lo masih banyak? Bantuin gue, please. Masih banyak banget, nih." Ben menyapanya yang baru saja masuk ke ruangan dengan setengah berteriak.

"Masih lumayan banyak, Ben. Gue ngarep bisa pulang sebelum makan malam. Tapi kayaknya sulit. Lo nginep di kantor semalem?" Rendy berjalan melewati Ben menuju meja kerjanya.

Ben mengangguk sambil menunjukkan beberapa botol minuman penambah stamina di meja kerjanya. "Tuh, lihat. Hasil begadang semaleman. Supaya punya tenaga kuda buat selesaiin kerjaan."

Rendy tertawa. Pekerjaan kali ini memang lumayan membuat ia dan teamnya kesal setengah mati. Produser yang perfeksionis membuat pekerjaan mereka bolak-balik kena revisi dan harus diulang terus-menerus. Bahkan sudah dua minggu ini mereka kerja seminggu penuh demi mengejar tengat waktu yang diinginkan.

"BEN! Ke ruangan saya, sekarang!"

Pintu ruangan team leader mereka tiba-tiba terbuka. Suara bariton menggelegar memanggil Ben, disusul suara bantingan pintu. Ben segera berlari memasuki ruangan itu. Mereka semua sudah hafal tabiat team leader mereka yang gampang marah saat tengat waktu sudah dekat.

Lumayan lama Ben berada di sana. Ia lalu keluar dengan wajah cemberut. Rendy menampilkan raut wajah bertanya.

"Titit ayam!! Kerjaan gue dibalikin lagi! Bisa-bisa ga pulang lagi gue," omel Ben kesal seraya mengacak rambutnya.

Rendy tertawa mendengar umpatan sahabatnya itu. "Gue baru tau ayam punya titit, Ben. Baru denger."

Ben menatapnya seolah-olah Rendy melontarkan pertanyaan paling bodoh.

"Terus menurut lo, gimana caranya itu ayam betina bisa bertelor kalau jantannya ga punya titit, hah?"

Rendy berpikir sekilas. Benar juga apa yang Ben katakan. Tapi seumur-umur baru kali ini dia mendengar umpatan seperti itu. Kemudian ia tertawa karena pikirannya sendiri.

Mereka kembali bekerja karena dikejar deadline. Rendy terus menatap list revisi di layar monitornya. Mengacak rambutnya kesal. List itu tak juga berkurang, malah terus bertambah. Tak terasa sekarang sudah sore dan pekerjaan mereka masih belum mendekati selesai. Rendy berdiri dari kursinya dan mulai melakukan peregangan badan. Dia menyukai bekerja di bidang animasi. Hanya saja, kali ini sepertinya bos mereka salah memilih klien. Proyek kali ini, produser film animasi yang mereka kerjakan sangat menuntut hasil maksimal. Sedangkan tengat waktu yang mereka berikan sangat luar biasa pendek.

"Ren, heh, Ren," panggil Ben dari meja sebelah.

Rendi menoleh dan menaikkan sebelah alisnya, bertanya. Sambil tetap menggerakkan badannya, ia menunggu Ben bicara.

"Nanti malem mau ikut? Gue mau ke hotel."

Rendi mengernyitkan dahinya. "Ngapain lo ke hotel?" Ia menoleh memandang list revisi di komputernya.

"Muncikari kenalan gue nawarin cewek. Katanya, sih, model." Ben mengedipkan sebelah matanya, membuat Rendy bergidik ngeri melihat kelakuan sahabatnya itu.

"Anjir! Dasar mesum! Gue ngga kurang belaian kasih sayang kayak lo, ya."

Sahabatnya tertawa. Rendy heran. Bukannya mencari wanita yang bisa dijadikan istri, sahabatnya itu malah menghabiskan uang untuk tidur dengan wanita bayaran.

"Lo ngga punya gangguan seksual, 'kan, Ren? Heran. Kok, lo nolak melulu kalau gue ajak. Cowok juga dia punya, kalau lo mau."

Rendy seketika melempar karton box biskuit bekas cemilannya ke arah Ben sambil mengumpat pelan. Disusul suara tawa Ben yang terdengar terlalu gembira sambil membereskan perkakasnya.

"Jangan plagiat alesan gue pas pulang cepet kemarin, ya."

Ben mengacungkan jempolnya seraya kembali mengerjakan pekerjaannya. Rendy menghela napas. Agaknya hari ini, dia yang akan menginap di kantor karena kelimpahan pekerjaan dari Ben.

Stories and NotesWhere stories live. Discover now