The Time We Spend Together

10.7K 2.2K 136
                                    

Chapter 12

"Jadi si Riko ini ... apa dia naksir kamu?"

Pisau yang kugunakan untuk memotong kue berhenti di tengah seperti ada yang menyuruh, cepat-cepat, aku melanjutkan memotong sambil setengah menggerutu, "Dia atasan langsungku. Chef yang sedang merintis karir, sepertinya dalam waktu dekat dia mau buka restorannya sendiri."

Aku menyerahkan kue yang langsung diterimanya dengan senang hati.

"Jadi?" tanyanya menuntut, menaikkan alis setelah menyuap sepotong kue meski aku sudah membelalak memberi isyarat 'apa lagi yang kurang dengan penjelasanku?'

Aku agak teringat kata-kata Bagus beberapa malam lalu, tapi kurasa tidak sepenuhnya akurat. Sikap Riko sama sekali tak ada bedanya, paling-paling dia hanya menerka. "Nggak," jawabku akhirnya.

"Dia memang menraktir semua orang yang berulang tahun, gitu?"

"Mungkin," kataku asal.

"Oke, jadi tadinya dia menawariku tidur di rumahnya, lalu memberiku baju-baju bekas yang masih bagus, sekarang menraktir yang sedang ulang tahun, dia pasti baik sekali orangnya, ya?"

Aku lebih tertarik pada kueku.

"Apa dia mendengar sesuatu tentang aku?" Max hampir menghabiskan kuenya, kesannya lebih seperti ingin mengorek lebih dalam tentang Riko dibanding soal dirinya sendiri. "Kamu kan bilang mungkin aku chef?"

"Belum ada," kujawab singkat. "Polisi gimana?"

Max menggerakkan bahu, mukanya langsung lesu. Piring kertas bekas kue diletakkannya begitu saja di meja. "Mungkin aku bukan chef, atau apapun. Nggak ada orang yang mencariku, atau mengaku kehilangan sanak saudara yang mirip denganku, atau apa. Aku yakin polisi sudah menyebarkan fotoku ke mana-mana. Tapi nihil."

Dia lanjut meracau, "Mungkin aku sama sekali bukan 'sesuatu.' Maksudku ... aku ternyata bisa melakukan banyak hal yang tak terduga, jadi kesannya seperti tidak ada yang spesial. Aku bisa memasak, menyetir, sekarang aku bisa menendang dan memukul, mungkin aku hanya seorang yang nggak tahu apa yang kuinginkan, jadi aku mencoba banyak hal."

Aku menggumam saja.

Terus terang, lama-lama aku juga seperti tak punya ide tentang siapa dia sebelum kehilangan ingatan. Semakin banyak yang kutahu, kini Max hampir sepenuhnya seperti orang yang kukenal sejak dulu. Bukan lagi seseorang dengan kehidupan lain yang tak pernah kutahu. Aku tak bisa lagi membayangkan dirinya dalam keseharian selain yang selama ini kami jalani berdua di rumah ini. Malahan, aku sudah mulai kehilangan gagasan sama sekali, bahwa dia bukan Max, bahwa dia mungkin sama sekali tak sama dengan Max yang sekarang kuhadapi.

Tiba-tiba, setelah beberapa saat kami diam, dia menanyakan sesuatu yang sepenuhnya tak ada kaitannya. "Kamu suka kuenya?"

Dan aku bersyukur dia mengalihkan pembicaraan. Aku menjilat sendok plastikku, "Suka. Kamu beli di mana?"

"Jadi setiap aku pulang dari mengantar Putri, aku selalu harus berkendara pelan melewati satu bakery dan cake shop yang jendelanya penuh kue tar, dari yang kecil-kecil sampai setinggi badan anak-anak, karena jalanan di situ nggak pernah lengang. Waktu aku berhasil memastikan sesuatu yang kamu coret di kalender duduk itu hari ulang tahunmu, aku mulai masuk ke sana dan mencari tahu kue mana yang kira-kira bisa kubeli."

"Kamu sendiri nggak tahu dia enak atau enggak sebelum beli?"

"Aku tahu kamu bukan orang yang melihat pemberian seseorang dari nilainya, jadi apapun kue yang kubeli, kamu pasti akan bilang enak," katanya.

Aku tertawa kecil. "Tapi ini memang enak."

"Memang," kemudian Max tercenung. "Kenapa kamu menandai hari ulang tahunmu sendiri?"

Max and Anna (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang