What Else Could Somebody Ever Wish For?

11.6K 2.2K 189
                                    

Chapter 10

Aku kesepian.

Setelah bertahun-tahun sendiri, siapa yang nyangka beberapa minggu bersama orang asing yang tak lagi bisa kulihat dan kutemui dengan leluasa membuat tidur malamku tak nyenyak, bangun pagiku pun hampa. Aku memasang kembali baterai baru di jam wakerku, tak ada lagi yang mengetuk pintu membangunkanku sambil bilang, 'rise and shine!' Biasanya Max sudah terkapar di depan televisi saat aku bangun dan melakukan rutinitas pagi, aku nggak pernah terbangun mendengarnya masuk rumah. Pasti dia selalu pelan-pelan supaya tak mengganggu tidurku. Penjual sarapan siap saji juga sudah berhenti mencemaskanku karena sekarang aku mampir hampir sesering dulu.

Aku dan Max nyaris tak pernah bertemu.

Kalaupun dia baru pulang setelah aku bangun pagi, kami paling hanya bertukar sapa karena dia terlalu lelah untuk mengobrol. Dua kali aku menawarinya teh hangat, dia selalu keburu ketiduran duluan sebelum tehnya siap. Aku sendiri hampir tak pernah sampai rumah sebelum Max berangkat, sepagi apapun shift-ku.

Kami pernah beriris jalan di mulut gang, satu kali beberapa waktu lalu. Baik aku, ataupun Max sama-sama kikuk seperti teman lama yang sudah lama tak bertemu, seolah sadar kami tak lagi sedekat dulu meski semua ini belum berjalan lama. Kami berbincang sebentar, tapi rasanya lebih menyakitkan daripada tak bertemu sama sekali. Terasa asing, terasa jauh.

Mungkin hanya perasaanku, mungkin bagi Max tak ada yang berubah.

Pagi ini, beda dari biasanya, mataku mengerjap terbuka menatap langit-langit kamar yang masih gelap. Wakerku belum berbunyi. Saat sepenuhnya bangun, aku baru menyadari bunyi-bunyian yang kutangkap di alam bawah sadarku ternyata berasal dari dapur. Kusingkap selimut, baru pukul empat pagi di hari ulang tahunku.

"Max?" aku memanggil sebelum membuka pintu.

"Hei," sahutnya khas.

Senyumnya langsung menyambut saat aku menyembulkan kepala. "Kamu udah pulang?"

"Iya, aku pulang cepat karena disuruh bos. Mulai hari ini aku berhenti jadi petugas valet parking," jelasnya, sambil-kalau nggak salah-mengocok telur. "Sudah lama kan aku nggak bikinin kamu sarapan?"

Bukan itu yang kupikirkan. "Apa yang terjadi? Apa mereka akhirnya mempersoalkan identitasmu?"

Max berhenti mengocok.

"Kamu dipecat?" terkaku.

Dia baru paham. "Oh ... bukan. Sebaliknya," katanya. "Aku malah dipindahtugaskan jadi keamanan karaoke keluarga. Mulai hari ini aku berangkat siang, pulang sebelum pukul sepuluh malam. Gajiku baru akan dinaikkan setelah masa percobaan, sih, tapi lumayan, kan? Kita jadi bisa lebih sering bertemu kalau aku berangkat siang!"

Aku menahan bibirku supaya nggak tersenyum, kututup pintu di balik punggungku dan berdiri bersandar. "Kamu baru kerja dua minggu, kan?"

"Lima belas hari, tepatnya," ia mengoreksi. "Kebetulan saja, bos besar tadi berkunjung saat ada keributan di antrean masuk klub dan aku berhasil membekuk beberapa orang perusuh di depan matanya. Bukan sengaja menarik perhatiannya, atau apa, karena aku juga nggak tahu siapa dia sebelum seseorang menjelaskan. Dia terkesan, lalu aku ditanya macam-macam dan dipindah ke bagian keamanan."

Dahiku mengerut.

"Kamu nggak akan percaya, tanya aja sama Lidia. Dia juga ada di sana," tuturnya. Sambil menyalakan kompor, ia melanjutkan, "Kalau boleh jujur, aku juga kaget. Sama seperti waktu ternyata aku bisa menggunakan pisau dan memasak, ternyata aku bisa menendang dan memukul dengan cukup lihai dalam keadaan terdesak-"

"Menendang dan memukul?" pekikku.

"Iya," Max tertawa. "It just happened, aku bahkan nggak sepenuhnya menyadari apa yang kulakukan. Awalnya, aku cuman mau membantu seorang pengunjung perempuan yang kena senggol saat mereka ribut, eh salah satunya malah kesal karena aku dianggap ikut campur. Mereka mukul bagian belakang kepalaku dan rasanya nyeri sekali, tahu-tahu, tinjuku melayang, dan aku berhasil membekuk beberapa orang yang malah balas menyerangku."

Max and Anna (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang