I Will Keep it in My Pocket, I Won't Lose it

11.6K 2.1K 142
                                    

Chapter 8


Ini adalah bangun tidur ternyamanku sejak tinggal di sini.

Selain karena libur, aku tahu begitu melangkah keluar kamar, seporsi sarapan akan segera menyambut. Lengkap dengan secangkir teh, atau kopi, sesuai pesananku sebelum masuk ke tempat tidur malam hari. Kudengar bibi penjual sarapan siap saji menanyai induk semang mengenai keadaanku, dia pikir aku pindah, atau sakit karena tak pernah mampir lagi saat jogging. Meski sederhana, kemewahan seperti ini tak ternilai harganya. Sejak kami tinggal bersama, aku hampir tak pernah menyapu lantai, mengepel, atau mencemaskan daun mangga kering yang kerap mengotori halaman teras. Semua itu tak membutuhkan bayaran mahal, malah aku merasa mendapatkan lebih banyak dari yang kuberi.

"Anna ...?"

Aku menjawab panggilan dari balik pintu sambil merentangkan tanganku dengan bebas, tubuhku merenggang ke segala penjuru.

Sudah satu minggu lebih dan aku mulai terbiasa mendengar suara-suara lain di dalam rumah. Beberapa hari lalu waker-ku kehabisan baterai, tapi aku merasa tak perlu membeli yang baru.

"Sarapan sudah siap," katanya.

"Aku libur," balasku malas.

"Tapi sarapannya tetap bakal dingin kalau nggak dimakan. Come on. Rise and Shine!"

Bibirku tersenyum. Kehadirannya benar-benar memberi warna baru. Suara lembutnya, juga cara bicaranya kadang membuatku merasa seperti sedang ada di sebuah setting film kekinian. Bagaimana tidak, seorang pria tampan membangunkan tidurku, bicara dengan bahasa campur-campur hingga kadang aku harus memintanya mengulang apa maksud ucapannya, dan menguasai area dapur yang selama ini kuhindari saking seringnya aku berada di dapur lain.

Bukan cuma itu, dia membuat rak-rak kecil untuk menyimpan bumbu dari kayu dan aku mulai ragu apakah dia benar-benar koki, atau sekadar seorang pria yang terampil membuat kerajinan tangan dari apa saja.

"Selamat pagi," sapaku sebelum menghilang lagi ke kamar mandi.

Begitu membuka pintu, letak dapur yang sangat dekat dengan kamar mandi memungkinkannya menyambutku dengan secangkir teh. Aku menyahut cangkirku sambil mengucap terima kasih, mengikuti langkahnya ke ruang depan di mana meja lipat sudah siap dengan menu sarapan pagi.

"Pancake?" aku melongo kagum.

"Kamu nggak kerja, kan? Nggak perlu sarapan berat karena seharian ini kamu boleh bersantai." Senyumnya mengembang lebar, kaus mahal Riko membalut tubuh atletisnya. Meski kulitnya makin gelap dari hari ke hari karena keseringan bolak-balik jalan kaki ke kantor polisi, dia masih tampak terlalu bersinar di rumah kecil bertembok kusam yang sudah setahun lebih tidak dicat ulang.

Dengan sigap, aku duduk menerima dua lembar pancake dengan taburan sirup gula merah. "Apa rencanamu hari ini, Max?"

Dia masih geli setiap kali aku memanggilnya dengan nama itu. Max sebenarnya bukan ideku. Malam itu kami tidak juga menemukan nama yang pas untuknya, sampai pagi harinya putri bungsu induk semang menangisi seekor anjing liar yang biasa ia beri makan dan ia panggil Max mati tanpa sebab tak jauh dari rumah. Dengan sukarela, dia meminta dipanggil Max, dan kupikir kenapa tidak? Kejadiannya benar-benar bertepatan dengan pembicaraan kami malam sebelumnya.

"Mungkin ke kantor polisi," jawab Max.

"Lagi?" seruku dengan mulut penuh.

Lidia belum juga menemukan pekerjaan untuk Max. Aku nggak tahu persis apa waktu itu dia hanya asal ngomong mau ngasih pekerjaan, atau gara-gara protes kerasnya kami abaikan saat tahu aku memutuskan memanggilnya Max. Setiap hari setelah aku berangkat, rutinitas Max hanya mengantar putri induk semang ke kampus dengan motor menggantikan suaminya yang tengah dinas di luar kota.

Max and Anna (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now