He Doesn't Know Where Else to Go

12.2K 2.2K 75
                                    

Chapter 3

"Maksudnya hilang ingatan, benar-benar hilang seperti hilang sama sekali begitu?" tanya Bagus setelah membacakan pesanan baru.

"Kelihatannya begitu," jawabku gamang. "Dia nggak ingat namanya, alamatnya, nggak ada dompet atau informasi apapun yang bisa membantu. Menurutmu hal seperti ini akan berlangsung lama, atau sementara?"

"Biasanya sih sementara."

"Tapi berapa lama?"

Tak ada yang bisa menjawab.

"Kirain hilang ingatan gitu cuman ada di sinetron," celetuk Eka seraya memberi jeda beberapa saat dari kegiatannya memotong kentang yang akan dipakai membuat pelengkap menu utama. "Maksudku kalau di film-film luar negeri yang lebih bisa dipercaya, biasanya mereka hanya kehilangan sebagian memorinya, kan?"

"Apa dokter yang memastikan dia lupa ingatan?" sahut Maya, entah sejak kapan ia bergabung dalam percakapan.

"Hanya ditanyai," Bagus yang menjawab.

"Terus kalian percaya aja tanpa periksa dulu ke dokter?"

Aku hanya menggerakkan bahu, memandangi sepotong daging steak yang mendesis di atas griller. Keterlambatanku cukup banyak gara-gara sisa perjalanan ke restoran tersendat macet, mau tak mau aku harus menceritakan apa yang terjadi untuk menghibur semua orang. Sebenarnya aku enggan, mereka pasti menganggap kami kurang kerjaan karena harus membantu seseorang, padahal kami sendiri tak punya banyak yang bisa diberikan.

"Siapa yang mau bayar dokternya," sahut pegawai baru yang bertugas menyiram saus steak dan menata garnish. "Harusnya begitu ada korban, mendingan lapor polisi supaya mereka yang memanggil ambulan. Jangan didiamkan, sekarang jadi runyam, polisi bingung mau mencatat apa karena dia nggak ingat apa-apa, ke dokter harus ada biaya, kalian juga mau melepas begitu aja nggak enak dengan alasan kemanusiaan."

Kepalaku mengangguk membenarkan, tapi kedua mataku masih menatap kosong permukaan daging yang mulai berubah warna.

Sampai shift-ku hampir habis, tak ada telepon dari kantor polisi. Mendadak, aku menyesal sudah sok tahu menyuruh pria itu kembali ke kontrakan. Aku melakukannya tanpa pikir panjang. Saat punggungnya menjauh dengan langkah gontai dan setitik darah merembes dari perban di bagian belakang kepalanya, aku merasa bertanggung jawab dan tak mampu membiarkannya sendiri. Pikirku polisi pasti akan menerima informasi tak lama setelah kami menyampaikan laporan, kini aku sadar masalahnya mungkin tak sesederhana itu.

"Anna," panggil Riko, menyentuh bahuku. "Balik dagingnya, nanti terlalu matang."

"Oh, maaf," aku tersentak dan refleks membalik daging ke sisi satunya dengan spatula, memindahkannya ke pinggan dan menyerahkannya pada Riko untuk dimasukkan ke dalam oven selama tiga menit.

"Mending kamu pulang, deh, An," Maya menyarankan.

"Tapi aku tadi telat dua jam."

"Nggak apa-apa," Riko menimpali. "Restoran nggak terlalu ramai, aku bisa atasin sendiri. Kamu kayaknya nggak konsen sejak tadi, lebih baik kamu pulang dan pastikan bagaimana keadaan orang itu supaya besok kamu bisa kerja lagi."

"Bener, nih?"

"Ingat, An, kamu harus tegas. Nggak semua hal harus kita bantu dengan cara ikut campur, kita sendiri sibuk sama urusan kita masing-masing, kan? Kalau ternyata dia sudah nggak ada di kontrakan karena diusir sama induk semangmu, nggak usah dicari."

Aku menanggalkan celemek. "Kalau polisi nelepon aku?"

"Suruh aja mereka cari sendiri," kata Riko santai. "Eka benar, kalian nggak ada yang tahu dia beneran hilang ingatan atau enggak, gimana kalau dia buat-buat aja? Modus kejahatan baru, mungkin?"

Max and Anna (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now