32. Me Time

1.5K 79 11
                                        

Berhentilah menyia-nyiakan waktu. Saatnya rengkuh cinta Allah, dan jangan pernah lepaskan, maka hatimu senantiasa terlindungi dari keburukan.

🌿🌿🌿

“Umi, lihat viewnya indah banget,” teriakku dengan terus menatap ke luar sana di mana nampak keindahan kota yang luas dari atas ini. Lampu-lampu bangunan yang menjulang tinggi, serta bangunan-bangunan lain, nampak begitu indah dilihat dari sini. Gemerlap kota yang menyenangkan untuk dinikmati keindahannya.

Saat ini aku beserta Umi, Abi, dan Kak Zidan tengah berada di sebuah hotel terbesar dengan fasilitas terbaik di kota ini. Iya, ini liburan yang dijanjikan Abi untuk merilekskan pikiran. Dan memang benar aku menyukai tempat ini lengkap dengan pemandangan yang dapat dilihat secara jelas.

Sudah malam kedua menginap di sini, dan aku masih saja mengagumi keindahan view yang tersaji di depan mataku. Bahkan mulutku tak hentinya mengucap syukur karena Abi membawaku ke tempat yang mungkin tidak akan pernah kulupakan.

“Kenapa, sayang? Ada apa teriak-teriak manggil Umi?”

Umi terlihat berjalan ke arahku.

“Udara malam nggak baik untuk kesehatan, Nak. Ayo tutup jendelanya.”

“Nggak, Umi. Risya masih mau liatinnya. Lihat deh, Umi, pemandangannya indah banget,” kataku menunjuk-nunjuk ke luar. Menunjukkan pada Umi gemerlap kota yang indah.

“Umi sudah hampir ratusan kali dengar kamu bilang itu, Lilprin, jadi Umi sudah tahu apa yang kamu maksud.”

Umi membelai puncak kepalaku, lalu kembali memberi intruksi.

“Ayo tutup jendelanya, kamu masih bisa lihat dengan jendela tertutup, Nak. Biarkan saja tirainya terbuka.”

Baiklah, aku akan mendengar kata Umi. Lagian aku tidak ingin kalau-kalau terjadi sesuatu karena terlalu lama terkena angin malam.

“Umi, Abi dan Kakak ke mana?” tanyaku pada Umi.

Memang sejak siang aku belum melihat keberadaan mereka. Jangan bilang mereka tengah bekerja di waktu yang Abi sendiri katakan untuk saatnya liburan. Ah, ya, tebakanku benar setelah mendengar Umi berkata,

“Abi dan kakakmu ada pekerjaan dadakan jadi nggak bisa bersama kita malam ini,” terang Umi.

“Besok?”

Umi menghela napas panjang.

“Sepertinya besok pun tidak, Nak. Tapi nggak papa, Umi kan ada di sini bersamamu.” ucapan Umi ada benarnya. Toh, aku nggak bisa memaksakan kehendak untuk Abi dan kakakku meninggalkan pekerjaan mereka.

Berbicara soal pekerjaan, aku kembali teringat Dave. Tidak bisa dipungkiri nama itu masih sering melintas di pikiranku. Tapi tidak seperti sebelumnya. Aku sudah tidak terpengaruh. Aku baik-baik saja bahkan saat mengingat pemilik nama itu.

Jika dihitung-hitung sudah terhitung sebulan sejak Dave pergi, dan sampai saat ini telingaku belum pernah mendengar di mana keberadaan orang itu. Sudah lama ternyata, dan aku hanya bisa berharap dia baik-baik saja, menemukan kebahagiaan, dan tetap dalam lindungan Allah. Bagaimana pun Dave teman lamaku 'kan?

“Kamu belum ada dapat kabar dari Dave, Lil?” tanya Umi.

Aku menggeleng pelan, “Nggak ada, Mi. Sama sekali Risya nggak pernah dengar kabar tentang dia,” jawabku.

“Oh, ya? Terus sahabatmu, Nindi, sudah ada kabarnya?”

“Belum juga, Mi. Kabar dari fakultas, katanya terakhir Nindi surat mengajukan cuti satu semester.”

Setulus Rasa (END)✔️Место, где живут истории. Откройте их для себя