Sudah kutebak hari ini tidak akan berlalu begitu saja. Ribet. Dave kembali berulah. Tapi aku berusaha tenang, kupikir ini adalah saat di mana Allah menguji kesabaran dan ketulusanku, lewat makhluk berjenis kelamin laki-laki, bernama David Rivansyah.
Dave menelepon ke rumah dan bilang ke Abi kalau dia sedang sakit. Bukan itu saja! Parahnya, dia meminta Abi menyuruhku ke rumahnya untuk menjenguk. Alhasil aku ada di sini bersama Dave. Jika saja dia benar-benar dalam keadaan sakit, maka tidak akan ku permasalahkan. Lah, ini? Dia sehat segar. Malah dia menyambutku dengan duduk santainya di ruang tamu. Parah kan? Banget!
"Jangan modus dong! Bilangnya sakit, eh, ini malah asik-asik dalam keadaan sehat pula lagi!" ucapku sengaja membesarkan volume suaraku.
Dave tersenyum misterius.
"Emang sakit kok. HATIKU tapi!" ada tekanan pada kata hati. Nggak mempam Dave, nggak bakal!
"Kualat baru tahu rasa!" aku memilih duduk di sofa yang berhadapan dengan Dave.
"Apa tujuanmu? Aku pikir kamu sudah sadar dengan posisimu!" bibirku berucap kemudian merutuk diri sendiri, meringis di waktu yang bersamaan. Maaf Dave, aku tidak berniat mengatakan itu.
Lama dia terdiam, mungkin memikirkan ucapanku. "Aku tidak bermaksud," ucapku kemudian.
"Aku sadar. Sadar banget malah, Sya," sahutnya dengan suara pelan diikuti helaan nafas kasar.
Aku mengangkat bahu acuh.
"Terserah apa katamu. Aku sudah jelasin semuanya. Bicaralah!" bukannya menyahut, dia memilih diam. Aku bersuara saja, "Mbak Muna mana Dave?" tanyaku memecah keheningan.
Dave menyunggingkan senyum kemenangan. "Lihatlah! Semua yang pernah kita lalui masih tersimpan di memorimu," gumamnya semangat.
Aku tak mau berlama-lama di langit ketujuh cuma bilang, "Jangan bahagia dulu!" Dave menatapku. "Takut saja jika pekan depan Allah mengujimu beserta hati yang ada dalam dirimu," lanjutku santai.
Syukur-syukur dia bisa diam dan tidak lagi membuatku ingin lupa ingatan saat ini juga. Bagaimana mungkin dia mengingatkanku dengan memori itu? Bukankah dia pun akan ikut terluka jika pekan depan telah tiba? Aku tidak habis pikir.
"Jangan mengingatkanku yang berlalu, itu akan jadi boomerang yang melukai hatimu," ucapku bangkit. Ingin segera pergi namun Dave menahan. "Jangan tinggalkan ruangan ini atau selamanya lelaki brengsek itu tak akan kembali!" sarat akan makna.
Deg.
Biar kutebak. Hilangnya Raffa ada hubungannya dengan Dave.
"Sekali lagi kutekankan bahwa dia tidak seperti yang kamu ucapkan!" aku menatap Dave sejenak. "Jangan sampai sikapmu membuatku tidak berpikir dua kali untuk membencimu!" ucapku memberi peringatan.
“Risya!”
Kenapa lagi ia memanggilku?
Aku tak menghiraukan dan berlalu begitu saja meninggalkannya.
Tak sampai di situ, Dave ternyata mengejarku, mengikuti hingga ke pekarangan rumahnya yang luas.
“Tunggu.” Teriaknya membuatku memutar arah langkahku. Aku berbalik menghadap Dave, menatapnya dan rasa khawatir langsung menghampiriku.
“Darah Dave!” dia hanya menyerngit tak menyadari darah yang mengalir keluar dari lubang hidungnya. “Hidungmu mengeluarkan suara Dave!” buru-buru aku mendekat, membuka tas selempangku dan mengambil tisu lalu mencoba menghentikan aliran darah itu. Gagal! Darahnya betah mengalir, tidak ingin berhenti.
Dave bergeming. Dia menatapku yang sangat kusadari, bahwa saat ini aku sangat khawatir. Aku terus saja berusaha menahan alir darahnya, tapi gagal.
Deg. Dave jatuh. Dia kehilangan kesadaran!
YOU ARE READING
Setulus Rasa (END)✔️
SpiritualUpdate tiap senin, rabu, jumat, sabtu! Baca yuk! Kali aja bisa jadi temanmu mengarungi kisah cinta yang abu-abu, sebab belum pahamnya dirimu dengan cinta atas dasar cintamu pada-Nya, Sang Pemilik Cinta. Bukankah romantis jika rasa itu dinamai Cinta...
