#4 Dia yang Pertama

23 1 0
                                    



Diawal sudah sekilas kuceriitakan bahwa aku mempunyai seorang partner yang menemani, menasehati, menolong, serta bahu membahu dalam mengemban tugas berat dakwah ini, yang bahkan gunung pun akan menolak jika diberi sebuah tugas berupa amanah. Sebelumnya tak pernah menyangka bahkan tak pernah terlintas bahwa dirinya-lah yang akan menjadi rekan kerja diri ini. Mungkin kalian akan menganggap ini sebuah kelebay-an (haha), karena tidak hanya dalam organisasi, bahkan teman kelompok belajar-pun bisa dibilang adalah partner, atau teman bermain yang cukup dekat juga bisa disebut partner. Tapi istilah ini bagiku berbeda, karena sebelumnya aku belum pernah menjalani sebuah organisasi sampai selesai, belum pernah mendapatkan seorang partner yang resmi dalam suatu instansi (wajihah) dan baru mengerti juga bahwa ada istilah partner dalam menjalankan kerja suatu organisasi. Dimulai dari maret 2017 lalu, ketika itu raker nakis setelah beberapa minggu dari SA yang ke XIV, sebelum raker aku sudah diberitahu oleh kakak sebelumnya bahwa selama mengemban amanah di nakis, aku akan bekerja sama dengan beliau. Dia mahasiswa jurusan sosiologi, satu angkatan denganku, kuberi nama inisial yaitu Mamad.



' Awal di nakis, sebenarnya aku tak tahu siapa-siapa saja ikhwannya yang aktif termasuk dia, dan memang sengaja tak mencari tahu karena memang adem ayem dan tak ada sosok yang menonjol dikala itu. Aku baru tahu, kalau dia juga seorang aktivis dakwah dan termasuk salah satu kader yang aktif di nakis sejak agenda SA lalu. Memang setelah mengetahui aku dipartnerkan dengan beliau, rasanya syok, kaget, dan tanda tanya??? Kok bisaa sihh.. Sempat khawatir bagaimana memulai komunikasi dengan beliau, karena sebelumnya belum pernah berkomunikasi atau aku nya saja yang tidak ingat, baik secara langsung maupun lewat media sosial (fb, sms, email, telpon dll). Sayangnya aku tak ingat juga, siapa diantara kami yang memulai komunikasi ini.


Sempat pesimis bahkan terlintas bayangan bahwa kerja kaderisasi ini akan stagnan ataupun mengalami kemunduran dari tahun sebelumnya, dikarenakan aku melihat sosok yang pendiam dalam dirinya, dan begitu juga aku pada waktu itu. Sama-sama pendiam, aku bingung akan bagaimana memulai langkah ini. Sehingga setelah berjalan beberapa minggu kerja dengan beliau, aku merasa ini tak akan berhasil jika aku yang harus menunggu, aku yang masih pemalu, masih sangat cuek dan begitu dingin dengan keadaan sekitar. Sangatlah tidak mungkin bisa berjalan baik dengan orang yang hampir sama saja bentuknya denganku seperti itu.


Sehingga aku memberanikan diri untuk mentransformasikan diriku untuk berubah. Dibekali dengan banyak membaca buku yang berkaitan dengan ranah kerjaku, banyak bertanya bahkan bisa disebut kepo pada kepengurusan sebelum dan sebelumnya, bahkan mengejar-ngejar mereka yang kini sudah tidak berkecimpung lagi dalam wajihah. Mengapa aku bisa bertekad untuk merubah diriku, karena sebuah amanah inilah yang mengharuskan aku untuk berubah. Pantang bagiku, jika aku tidak bisa memperoleh hasil yang membanggakan, bila aku sudah memilih untuk menjalaninya, aku bisa menjadi seorang sangat pekerja keras dan melupakan hak tubuhku bila aku sudah punya keyakinan kuat pada hal itu, bahkan sangat bersungguh-sungguh jika menjadi jundi yang qiyadahnya bisa menghargaiku.


Dengan bekal yang kurasa cukup untuk memulai transformasi ini, perlahan watak dan sifat yang ternyata selama ini terpendam dalam kawah akhirnya mencuat ke permukaan. Seorang akhwat yang mulutnya seakan api yang berhembus. Otak, mata, telinga, kaki, tangan semuanya bergerak cepat dari sebelumnya bahkan tak terkendali. Sampai pernah suatu kali, saking ingin bergerak cepat sampai tak bisa menunggu aba-aba dari beliau yang status kedudukannya berada diatasku. Semuanya bergerak cepat kecuali hati, rasa atau perasaan yang bergerak lambat, yang kala itu kusampingkan bahkan kusingkirkan jauh-jauh sehingga yang terlihat hanyalah sebuah bentuk kekejaman atau kesadisan, walau-pun itu baik pada akhirnya tapi yang mereka tahu hanyalah sebuah bentuk amarah dan kekejaman belaka.


Sebenarnya jati diriku yang seperti ini sudah ada sejak aku kecil, aku mudah kesal dan marah jika melihat orang melakukan pekerjaannya begitu lambat yang bagiku itu tidaklah sulit. Aku tak bisa menunggu lama, jika ada suatu hal yang ingin ku rundingkan tapi malah mendapat respon yang lambat, tak sesuai harapan atau bisa jadi tak ada respon sama sekali, walau pada akhirnya diketahui alasan beliau tak ada pulsa dan sebagainya. Aku akan merasa ilfell, bila mana seseorang itu mempunyai nyali yang cukup ciut dibandingkan aku yang seorang wanita bahkan bisa mengambil resiko yang cukup membuat diri ini kewalahan. Dan yang ini sangat sering terjadi, bahkan sejak kecil, bila mana sudah bisa atau sudah mengerti pada suatu hal, aku akan dengan sigapnya memerintah ini dan itu, mengambil posisi sendiri dimana aku yang memberi aba-aba agar dapat sesuai seperti yang diharapkan.


Semuanya itu sekarang benar-benar sudah menyembur dan mengenai siapa saja yang berada didekatnya, bagaikan air yang muncrat kemana-mana, dan pastinya partnerku pasti sangat merasakan air panas yang keluar dari dalam kawah itu.


Setelah kusadari, lama kelamaan dan waktupun bergulir seirama, semakin kuperhatikan, beliau mungkin hanya bersifat zuhud pada dunia, beliau begitu sederhana, menjauh dari keasikkan dunia, meminimalisir setiap tindakan yang berasal dari hawa nafsu, setiap gerak ia selalu merenungkan apa efeknya bagi kemajuan dakwah ini.


Setiap rapat, pastilah ada saja api yang keluar dari mulut ini dan pastinya tertuju pada dirinya, tapi ia selalu mencoba untuk bersikap tenang, dan membalasnya dengan nasehat-nasehat yang terkadang begitu mengena pada diri ini, yang awalnya ingin marah dan protes akan kerja-nya yang kurang memuaskan, tapi pada akhirnya selalu aku yang merasa bersalah setelah mendengarkan nasehat yang berasal dari alquran dan hadist nabi yang ia sampaikan dengan sabar dan lembut.


Ternyata mendekati di akhir kepengurusan, barulah keluar sifatnya yang terkadang bisa membuat orang tertawa, ia bisa membuat lelucon yang bahkan itu bukan lelucon tapi hal-hal yang dibahas dan tak tahu mengapa itu bisa jadi lucu karena dia yang membawakannya, bahkan pada saat rapat di akhir-akhir kepengurusan, kami yang akhwat lebih banyak tertawanya dan aku yang sering marah, bahkan wajah ini bisa dilipat-lipat ketika marah ternyata bisa tertawa geli sampai lupa hal apa yang akan dibahas dalam rapat.


Sungguh, aku tak menyesal bahkan sangat bersyukur atas apa yang terjadi setelah diriku dipartnerkan dengan sosok seperti beliau. Aku sudah melupakan bentuk-bentuk dari sisi beliau yang bisa membuatku darah tinggi, kini yang kuingat dan bisa kuambil hikmah dalam perjalanan kerjasama ini adalah sikap zuhudnya, ketenangan, kesederhanaan, nasihat-nasihatnya serta lelucon yang ia buat tanpa sadar. Sisi positif dari beliau kuambil dan kujadikan salah satu pelajaran hidupku yang sebentar ini. Bahkan sekarang ketika melihatnya, ia mengingatkanku akan kehidupan di akhirat.


Sebagai bentuk terimakasih dan maaf dariku, aku kasih ia sebuah hadiah yang kala itu pas pada moment ia milad. Ingin kutulis surat untuknya bahwa aku hanyalah manusia biasa yang sangat jauh dari kata sempurna, aku mohon maaf padamu beribu-ribu maaf atas sikap dan tingkah lakuku selama menjadi partnermu dan beribu-ribu terima kasih atas kesediaanmu bertahan dengan sosok seperti aku ini. Itulah yang ingin kutuliskan, tapi tak jadi, karena begitu malu dan tak punya nyali mungkin gengsi yang terlalu tinggi hingga menutupi rasa yang sebenarnya tidak apa-apa diucapkan sebagai seorang sahabat. Dan itu kedua kalinya aku memberi hadiah kepada sahabat laki-laki.


Sekarang ikatan kerjasama itu berakhir sudah, setelah berakhir kamipun tak pernah berkomunikasi lagi dan baru sekarang aku merasa betapa berharganya nasihat yang ia berikan dikala orang-orang memilih menjauhiku ketika diri ini lagi tidak stabil.


Pesan untukmu partner pertamaku, jadilah dirimu sendiri, berilah keyakinan dan kepercayaan pada dirimu sendiri bahwa kau pasti bisa, kau bisa, dan kau bisa bila kau mau melakukannya dengan sungguh-sungguh. Tak perlu membandingkan dirimu dengan yang lain, tetap fokus pada tindakan kebaikan yang telah kau jalani selama ini. Semua manusia itu sama dimata Allah, yang membedakannya hanyalah ketaqwaannya. Maka pilihlah ketaqwaan itu dari pada hal yang menipu didunia yang fana ini.

Zulaikha Street (End)Where stories live. Discover now