Echo XXX

1.7K 165 44
                                    

Hal diam, memilih mengabaikanku. Dia menatap tajam ke atas, tepat ke arah pria berambut emas. Nafasnya menggebu di belakangku.

Seketika ruangan menjadi rusuh kembali. Bukan. Bukan karena mereka panik atau takut terjadi sesuatu kepadaku. Mereka hanya sedang bahagia saja. Para makhluk sialan di sini akhirnya memiliki tontonan seru untuk mereka.

Cekikikan mereka yang bagaikan badai di malam hari tidak lagi terdengar menakutkan. Hawa tajam menyengat yang berasal dari mereka tidak lagi semengerikan itu. Bagaimana tidak? Semua kengerianku sudah terwujud. Sebuah ketakutan mendalam dari seonggok hati yang rapuh.

"Ibu...." gumamku pelan. Terlampau pelan bahkan, sampai-sampai Hal tidak bisa mendengarnya.

Biasanya saat aku menangis, Ibu akan mendatangiku lengkap dengan pelukan hangatnya. Kemudian tanpa bertanya apa masalahku, dia mengelus rambutku, menepuk pelan punggungku, menunggu hingga tangisanku mereda dan membiarkanku terlelap, terlelap dalam dekapannya.

Lalu Ibu menyuruhku pindah ke kasurku. Waktu itu, Ibuku berkata, "Tentu saja, tubuhmu tidak sekecil dulu untuk bisa Ibu gendong sampai kamar, Mika."

Pernah juga, saat aku menangis diam-diam. Bergelung dalam selimut dengan lampu kamar yang mati, menahan isakan tangis. Kemudian Ibu masuk tanpa menghidupkan lampu. Menggeser poni yang menjuntai berserakan di wajah dan mengecup dahiku beberapa saat.

Seolah dalam satu kecupan itu, Ibuku memberikan kekuatan yang kubutuhkan, memberi segalanya yang dia punya. Bukankah semua Ibu di dunia seperti itu?

Sial.

Semua itu hanya omong-kosong.

Lagipula kenapa aku mengingatnya di saat seperti ini? Bahkan aku terlalu baik masih menyebutnya 'ibu'.

"Akh...." jeritku tertahan.

Hal menekankan ujung pisau semakin dalam ke leherku. Menghasilkan sayatan tipis dengan percikan merah yang merekah. Wangi zat besi tercium di hidungku. Aku pasrah saja saat tangan Hal yang melingkari leherku mengerat seiring semakin dalamnya sayatan yang diciptakan pisau sialan itu.

Aku mendengus, "Lakukanlah, aku tidak akan melawan." Bibirku membentuk senyuman tanpa makna dengan mata kosong.

Dia tetap mengabaikanku. Jadi, dengan cepat kedua tanganku menggenggam gagang pisau yang di pegangnya dan mendorongnya lebih dalam. Ya, perasaan ini yang membuatku gembira. Aku akan terbebas ... selamanya.

Dalam, lebih dalam, dan lebih kuat lagi.

Aneh.

Tangan Hal malah menahan tanganku. Pisau yang kami genggam sedikit bergetar akibat besarnya perlawanan. Lengan Hal yang bebas segera dengan mudah meredam tenagaku.

"Bukankah kau ingin aku mati, Hal?" tanyaku heran.

Kali ini, perhatiannya dialihkan kepadaku. Namun, dia hanya membatu. Ada sesuatu yang tak kupahami dari mata itu. Sebuah penyesalan ... mungkin.

Pria berambut putih bersiul. Hal bersikap awas, memandang pria itu. Dia menikmati 'pertunjukan' ini, heh?

Pria itu tertawa keras sambil bergumam, "Bodoh, bodoh."--berulang kali.

Ocean EchoWhere stories live. Discover now