Echo XXIX

911 121 4
                                    

Seluruh tubuhku mati rasa, lidahku kelu. Angin malam yang masuk lewat jendela berbingkai kaca menggigitku hingga ke tulang rusuk. Aku dikecam dengan ketidaktahuan. Seperti berdiri sendiri menatap semesta yang berisi kegelapan, hatiku raib, jiwaku hanyut ditarik kepingan ingatan kilas balik masa lalu.

Badanku masih menggigil menanggung akibat perbuatanku beberapa jam lalu, akibat dari pengkhiatan keji. Begitu mataku terbuka, rasa sakit yang tak terhingga menyergap jiwa dan ragaku. Kasur yang empuk dan halus tidak terhiraukan oleh ku, atap-atap bertaburkan bintang tidak juga meringankan penderitaanku.

Memori saat Zefa memancarkan aura membunuh dengan tangan berlumur darah sedang menusuk perut Hal menggunakan sebuah pisau membuat napasku tercekat. Aku memang membenci mulut kasarnya, tidak menyukai cara berpakaiannya yang eksotis, semua yang ada dalam dirinya tak satu pun membuatku suka padanya. Tapi, sungguh disayangkan bahkan hatinya lebih buruk dari dugaanku. Aku tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya, tetapi syukurlah Hal berhasil selamat. Jika Hal tidak tertolong saat itu....

Lupakan!

Kepalaku kembali berdenyut. Kedua alisku menyatu dengan mata terpejam dan mulut mendesis kesakitan. Ini aneh, rasanya ada sesuatu yang hilang. Saat aku memikirkan kejadian waktu itu, kepalaku berulah kembali. Hal ini semakin menambah kecurigaanku. Kekosongan itu meminta untuk diisi, dia memberitahuku bahwa kekosongan itu merupakan fakta yang tak ingin kuterima, fakta itu adalah ... ketakutan terbesarku.

Tempat ini penuh dengan energi dari para rukh. Hal yang membawaku kesini, aku harus bertanya padanya dimana tempat ini berada.

Tunggu, bukannya kami di istana si Tanpa Nama?

Argh. Sial!

Menggerakkan tanganku untuk memijit pangkal hidungku saja aku tak bisa. Sekelebat ingatan malam itu menerobos masuk. Hal, bagaimana bisa dia begitu tega menipuku?

Tidak!

Aku tidak boleh sembarangan mengambil keputusan, apalagi sesuatu yang penting seperti ini. Saat itu aku berada di tengah-tengah kesadaran dan kegelapan, aku bisa saja salah mendengar atau salah menduga. Tapi jika benar begitu, aku pasti akan sangat membencinya.

Aku memaksakan kakiku untuk berdiri. Kugunakan tumpuan tanganku di kasur untuk menyangga sebagian berat badanku. Kasur ini diletakkan di sebuah dipan berbahan kaca dengan butir-butir mutiara di dalamnya yang menghasilkan suara gesekan halus saat aku bergerak turun.

Suara derit nyaring bergema memenuhi ruangan menjalar ke lorong-lorong sepi di balik tirai pintu kamar ketika aku tidak sengaja menggeser kursi besi berwarna perak di dekatku. Jendela yang terbuka membuatku masih bisa bernapas lega karena menampilkan sebuah harapan ... dari dunia luar.

Tertatih-tatih aku mengintip dari balik tirai, meninjau segala sesuatu yang asing. Tidak ada siapa-siapa. Semua yang terlihat olehku hanya ruangan mewah lainnya, yang dihias dengan apik, dan dibangun dengan berbagai bahan mewah. Semua terlihat mengkilau dan menyedihkan disaat bersamaan.

Namun aku tidak boleh lengah sedikit pun. Aku berbalik dan menghampiri jendela. Aku mendongak mengukur ketinggian jendela dari lantai. Sedangkan atapnya berjarak sepuluh meter dari jendela. Jendelanya berukuran raksasa, tapi aku sama sekali tidak bisa melihat apa yang ada di luar.

"Tempat ini benar-benar mengagumkan," gumamku takjub. Aku tersadar, kemudian menggeleng dan mendengus, "Indah tidak pada tempatnya."

Ocean EchoWhere stories live. Discover now