J-16; Home Sweet Home

2.5K 316 18
                                    

Beberapa penumpang terlihat segera bergerak menuju ke musholla yang berada di buritan kapal ketika mendengar adzan magrib yang mulai dikumandangkan.

Seusai menyantap makan sore, aku menikmati waktu malamku di kafetaria sambil menunggu Jack yang sedang ke kamar mandi. Kafetaria ini adalah salah satu spot yang bisa membuat penumpang betah, karena penumpang bisa menikmati menu kuliner yang dijual sambil menikmati pemandangan laut lepas.

Bukan tidak mungkin lagi jika di tempat ini bisa melahirkan ide-ide kreatifitas dan inovasi dari seorang penumpang selama perjalanan.

Di sini, segala macam bentuk manusia ada. Mulai dari yang masih usia belia, hingga yang sudah memasuki usia pensiunan. Ada juga yang berpakaian rapi, hingga berpakaian semaunya. Keberagaman yang ada di atas kapal ini membuatku tersenyum.

Malam yang belum terlalu larut itu membawaku untuk mengamati kegiatan yang terjadi di deck 8. Ada gerombolan bapak-bapak yang sedang asik mengobrol, ada juga anak-anak muda yang secara serentak menundukkan kepala melihat ke layar ponsel mereka.

Dan ada lagi satu orang yang menarik perhatianku. Seorang pria yang sedang berdiri di sudut buritan, di antara jari tengah dan dari telunjuknya terselip rokok yang masih menyala. Dia terlihat begitu menikmati waktunya bersama dengan hembusan angin dan arus air laut yang tersibak karena baling-baling mesin kapal.

Satu hal yang sangat menarik perhatianku dari pria itu, yaitu; pakaian yang dia kenakan. Dia terlihat berbeda dari kebanyakan pria pada umumnya. Ketika semua pria ingin tampil maskulin, tetapi pria itu malah memakai pakaian yang jauh dari kata maskulin. Kaos yang dia kenakan berwarna pink dengan potongan v-neck.

"Ngeliatin apa sih?"

Aku menoleh kearah sumber suara ketika mendengar suara Jack. Jack duduk di kursi sampingku, dia meletakkan dua gelas--berbahan karton, ukuran medium--ke atas meja. Dari aromanya, aku dapat menebak isi dari gelas itu. Teh dan kopi hitam.

"Em, itu mas-mas yang lagi berdiri di sudut."

Jack ikut memperhatikan apa yang aku perhatikan ketika aku menunjuk pria itu dengan daguku.

"Kenapa emangnya?"

"Nggakpapa sih, dia menarik perhatianku aja."

Dahi Jack berkerut, "Menarik karena dia terlihat feminim?"

Aku mengangguk. Jack hanya tersenyum tipis.

"Bisa aja pria itu lebih maskulin dari pria berotot. Bukan berarti kalau dia pakai kaos pink berpotongan v-neck lantas dia adalah pria feminim."

Dahiku mengernyit, "Bukannya kamu yang bilang pria itu feminim? Kok kesannya kamu malah menghakimi aku."

Jack terkekeh, "Aku bilang begitu karena ingin menebak isi pikiranmu. Streotip masyarakat emang kacau. Ya gitu yang bikin orang Indonesia saling menebarkan ujaran kebencian. Karena streotip, orang yang terlihat berbeda dari kebanyakan orang pasti akan terkena dampaknya."

Aku mendengus mendengar ungkapannya, "Ya maaf, bukan maksud aku untuk menghakimi. Aku hanya bilang kalau pria itu menarik, kamunya aja yang berpikiran negatif tentang pikiran aku."

Jack memutar bola matanya malas, kemudian dia meminum kopi dari gelas karton yang tadi dia bawa.

"Dasar netizen, sukanya ngelak."

"Kamu juga netizen tahu!"

Dan kemudian tidak ada lagi yang kami obrolkan. Kami sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku menikmati teh yang dibelikan oleh Jack sambil memandangi setiap pergerakan yang terjadi di buritan kapal ini.

≠≠≠≠

Keesokan harinya kapal ini melewati daerah Bangka dan daerah Belitung, sayangnya semua daerah itu hanya bisa kami nikmati dari kejauhan karena kapal ini tidak bersandar di kedua daerah itu.

Pagi tadi aku kembali melihat sunrise bersama dengan Jack, perempuan itu--sedari melihat matahari masih nampak malu-malu hingga sudah berani menantang orang-orang agar segera beranjak dari tidurnya--selalu melingkarkan kedua tangannya di atas perutku.

Seperti biasa, siang hari aku gunakan untuk tidur. Karena biasanya waktu malam datang kami tidak segera tidur, karena kami masih ingin berbincang dan saling menghangatkan satu sama lain.

Sore harinya, aku kembali melihat sunset. Ini adalah ketiga kalinya aku melihat sunset di atas kapal. Sayangnya besok pagi aku sudah tidak bisa melihat sunrise karena aku sudah berada di daratan.

Pada pukul sepuluh malam, di hari sabtu--malam minggu--kapal ini merapat ke Dermaga Tanjung Periok. Berakhir sudah perjalanan selama dua setengah hari dan dua malam yang penuh dengan rajutan kenangan yang telah kami buat.

Ternyata menyenangkan juga bisa berlayar bersama orang terkasih, apalagi orang itu adalah calon istri. Duh.

"Kita pulang naik apa? Aku pesen Grab, ya?"

Saat ini kami sedang berdiri di pinggir jalan, setelah turun dari kapal, kami segera bergegas keluar dermaga agar bisa mencari kendaraan pulang. Karena kantuk sudah menyerang, tapi Jack belum juga ada keputusan jadi aku memutuskan sendiri untuk memesan taksi online.

"Nggak usah, temenku udah on the way ke sini kok. Paling bentar lagi dia sampai."

"Temen?"

Jack mengangguk. Dia sesekali memperhatikan jalanan, lalu pandangannya berpindah ke ponsel. Mungkin dia sedang mengecek sampai mana temannya itu.

"Perempuan apa laki-laki?"

"Perempuan."

Jack masih sibuk dengan ponselnya. Berkali-kali dia mencoba menelepon temannya itu, tetapi sepertinya telpon itu tidak mendapatkan respon. Ketika aku hendak menanyakan lagi perihal teman perempuan yang di maksud Jack, mobil Avanza berwarna putih tulang itu berhenti di hadapan kami.

Tanpa pikir panjang, setelah melihat siapa yang ada di balik stir kemudi, Jack membukakan pintu penumpang untukku.

"Ayo."

Aku hanya mengangguk dan masuk ke dalam mobil, diikuti Jack setelah aku. Di dalam mobil tidak ada satupun yang membuka suara, karena kantuk dan rasa lelah yang aku rasakan, maka dari itu aku lebih memilih untuk tidur di pangkuan Jack.

"Nanti kalau sudah sampai, bangunkan aku."

Jack menatapku, tangan kanannya mengusap keningku dengan lembut. Dia tersenyum lalu mengangguk. Setelah itu aku menutup mataku, mencoba untuk tidur.

-0000-

Jacqueline.Where stories live. Discover now