Prolog

10.4K 845 39
                                    

"Mbak?"

"Ya?"

"Itu, ada pelanggan yang ingin bertemu dengan Mbak Erika."

"Meet me?"

Nana mengangguk menjawab pertanyaanku. Aku yang ketika itu sedang membaca proposal pengajuan kerjasama sponsor dari organisasi kampus seketika langsung memberikan semua fokusku untuk salah satu karyawanku.

"Okey, just wait a minute."

Setelah meletakan proposal dan merapikan meja kerja, aku bangkit berdiri dan keluar dari ruang kerjaku. Lalu mengekori Nana dari belakang.

Jarang sekali ada pelanggan yang ingin menemui aku. Kalau sudah seperti ini pasti ada sesuatu yang sangat penting.

Seperti biasa cafe yang baru hidup selama satu tahun ini selalu ramai dikunjungi oleh anak-anak muda yang suka memadu kasih, mengerjakan tugas atau hanya sekedar mencari ide.

Cafe yang aku bangun dari nol ini berlantai dua. Lantai pertama untuk operasional, dan lantai kedua di khususkan untukku dan karyawan. Aku sengaja memberikan ruangan untuk para karyawan kalau kalau ada yang merasa lelah, jadi mereka bisa beristirahat sejenak di lantai dua.

Setelah melewati tangga, dan ruang kitchen, aku masih harus melewati bar tempat para barista berunjuk gigi. Ohya mereka bukan barista kopi, tapi barista teh. Iya, cafe ini memang menyediakan aneka jenis olahan teh. Mulai dari yang diminum hingga yang dimakan.

"Yang mana orangnya?"

"Itu Mbak yang pakai kaos hitam, celana robek-robek, dan memakai topi."

Aku memperhatikan arah telunjuk Nana, jika dilihat dari belakang, aku seperti mengenali punggung itu. Punggung itu seperti milik seseorang yang sudah setahun ini tidak pernah aku temui, yang selama setahun ini selalu coba aku hilangkan dari pikiran dan hatiku.

Itu tidak mungkin dia, kan?

"Baiklah, kembalilah bekerja, biar aku yang urus."

Nana mengangguk, dan meminta ijin untuk meninggalkan aku. Setelah Nana pergi dari hadapanku, aku menarik nafas, lalu berjalan mendekati pelanggan yang katanya ingin menemui aku.

Semakin aku berjalan mendekati punggung itu, semakin kuat aroma kopi yang menyapa indra penciumanku.

Dan ya, aku benar-benar terkejut!

"Jacqueline?!"

Ya, aku memang tidak salah. Punggung tegap itu, aroma kopi ini. Itu milik Jacqueline. Si dalang dari bulatnya tekadku untuk move on. Melihat dirinya, aku hanya bisa menggelengkan kepala. Mencoba mewaraskan kembali otakku.

Son of bitch! Ini hanya mimpi, 'kan?!

Wake up, Erika!

-0000-

Jacqueline.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang