Prolog

88 18 9
                                        

Ketika perantara kata tak sanggup merangkai kata.

Ketika sepasang kaki yang biasa ia jadikan pondasi untuk bangkit kini lumpuh.

Ketika harapan telah dibabat habis, tanpa sisa. Tiada lagi mimpi. Tiada lagi cita-cita. Tiada lagi angan. Semua lenyap.

Ketika cahaya tak lagi datang, menenggelamkannya pada jurang terdalam kegelapan. Tanpa mampu digapai lagi.

Hanya tersisa hati, hati yang tak berbentuk. Luka yang tiada obat. Kekal abadi. Luka hati.

Hati yang Lara.

Sebuah luka tak kasat mata, bukti sebuah perjuangan kehidupan. Goresan hati yang tiada henti.

Sebuah ujian hidup, tawa dan lara sebagai melodi. Hati yang lara sebagai bukti. Lelah yang terus mendera tanpa ampun, kian memaksanya untuk kalah.

Disaat itulah Tuhan menunjukan kekuasaan-Nya, penuh kasih. Disambut kebahagian di penghujung kehidupan. Kebahagian yang selamanya baginya terasa tabu. Terasa hanya angan belaka.

Disaat itulah Tuhan hadir, menggapainya.

Menyelamatkannya disaat tak ada yang mampu menggapai tangannya. Merengkuhnya, memberikan balasan yang setimpal. Mendekapnya dalam damai.

Tanah bumi pertiwi sebagai saksi bisu. Raga yang menjadi alasnya. Hati yang menjadi rumahnya.

Malam sebagai temannya. Luka sebagai kekasihnya. Keheningan bagai musik pengiringnya. Kesepian yang mencekiknya kuat sedekat nadi.

Teruntuk semuanya.

Lara ucapkan terima kasih untuk segalanya.

Kini sang bunga memilih menanggalkan kelopaknya.

Seperti Lara yang memilih menuju langit. Tiada lagi Alara Sabhita Megantara, kini hanya tersisa kenangan dalam kalbu.

Lara yang abadi. Abadi dalam kenangan, pada memori yang membekas di palung terdalam kehidupan.

-Dari Lara sang Lara yang sesungguhnya.Teruntuk kalian yang pernah ada di hidup Lara.

Sang LaraWhere stories live. Discover now