Episode 3

1.1K 97 10
                                    

Kabut memudar, meninggalkan jejak basah di permukaan daun dan rumput. Aroma lembut tanaman yang mulai bertunas membaur bersama wewangian melati yang ingin segera merekah. Tupai-tupai keluar dari sarang mereka yang tersembunyi di antara batang pohon yew sementara bu rung hantu memilih bersembunyi, tak ingin menampakkan diri. Dahan dedalu bergerak lembut saat angin berembus pelan, tetes-tetes embun berjatuhan dari ujung daun kemudian menghilang di antara rerumputan yang tampak hijau. Bunga pukul sebelas mulai memamerkan kelopak mereka, putih dan di tengahnya terlihat titik cokelat tua, jenis tanaman yang hanya mekar di antara subuh dan akan menutup rapat pesona mereka tepat di tengah hari. Ian, si penjaga istal, mulai memberi makan kuda dengan rumput segar. Wajahnya terlihat masam, atau mungkin memang ia tak pernah menampilkan gurat keceriaan dalam dirinya. Dia bermaksud mengeluarkan salah seekor kuda untuk dibersihkan namun matanya menangkap keberadaan Aretha yang berdiri di depan kandang kuda milik Clay.

"Ian," kata Aretha. Gadis itu mengenakan kemeja longgar berwarna putih yang dipadu celana kulit. Rambutnya dikucir rapi menjadi satu dan hanya menyisakan anak-anak rambut di sekitar leher. "Aku ingin mem injam kuda tercepat."

"Nona, semua kuda yang ada di sini, kan, punyamu."

"Milik ayahku," Aretha mengoreksi.

Ian sudah bisa menangkap maksud Aretha. "Nona, Tuan pasti marah jika mengetahui tujuan Anda."

"Wah, wah. Kau ternyata peduli ."

"Sebenarnya," Ian menjelaskan, "aku mencemaskan pekerjaanku."

Aretha menepuk bahu Ian. "Aku akan bertanggung jawab."

Manusia itu bisa melihat cengiran "khas" di wajah Aretha, jenis-jenis cengiran yang bisa diterjemahkan menjadi; masalah, masalah, dan masalah.

"Nona, apa Anda bermaksud mendatangi penyihir budukan?"

Salah satu alis Aretha terangkat. "Ian, orang yang akan aku datangi itu tidak budukan. Oh ya, aku sudah mempersiapkan kebutuhanku."

Mulut Ian menganga, tidak percaya. "Apa Anda ingin kabur?" Ian menambahkan, "Lagi?"

"Dulu itu tidak bisa disebut kabur. Aku hanya pergi ke hutan sana. Kalau Ay ah bertanya mengapa aku pergi, jawab saja begini, 'Nona merasa tertekan dan meminta dengan sangat hormat agar venir-nya yang imut dikembalikan.' Mengerti?"

"Anda tidak bisa-"

"Tentu bisa," Aretha menegaskan. Dia mulai mengenakan jubah bertudung yang baru disadari Ian keberadaannya. "Jangan khawatir, aku sudah memantrai ayahku agar bangun di siang hari."

"Ta-tapi ... aku."

"Sampai jumpa."

Aretha mengerling, meninggalkan Ian dengan sejumlah tugas yakni, masalah, masalah, dan masalah.

***

Aretha memacu kuda meninggalkan kediaman Antunes. Di pundaknya tersampir tas kain berisi segala hal yang dibutuhkan; pakaian, uang, dan beberapa jimat yang mungkin bisa ditukar di pasar gelap. Oh satu lagi: senjata. Tepat di sabuk tersemat sebilah pedang yang sang at istimewa. Pedang tersebut tidak terbuat dari besi melainkan "es abadi" atau begitulah kaum elixer menyebut bilah sebening kaca namun sama kuatnya dengan besi mana pun. Sarungnya terbuat dari kulit kayu pilihan, warnanya cokelat muda dengan ukiran tanaman rambat.

Angin dingin menerpa wajah Aretha. Gadis itu sengaja melewati pemukiman campuran-manusia dan elixer tinggal bersama dalam damai-di sepanjang p erjalanan ia melihat wanita mulai membersihkan jendela serta beberapa lelaki memikul karung kentang. Dia mungkin merindukan desa tempatnya berasal namun ... ia perlu melakukan perubahan.

Scarlet Love (LANJUT DI KARYAKARSA)Where stories live. Discover now