tale 3

3.8K 462 80
                                    



TALE – 3

-

She started up with a cry, and saw the boy, and somehow she knew at once that he was Peter Pan. If you or I or Wendy had been there we should have seen that he was very like Mrs. Darling's kiss. He was a lovely boy, clad in skeleton leaves and the juices that ooze out of trees, but the most entrancing thing about him was that he had all his first teeth. – J.M. Barrie, Peter Pan (1904).

*

*

Tidak peduli berapa sering Dahyun coba terlepas dari semua pikirannya, satu bayangan itu tetap terpatri kuat-kuat di batok kepalanya—Yeonjun yang meronta dan menangis keras—bersama suara lain. Yeonjun mungkin akan semakin parah. Ini bukan jenis gangguan mental yang dapat ditangani sesuai prosedur, kasusnya langka dan kurasa dia seharusnya mendapatkan penanganan lebih jauh. Kita tidak bisa membiarkannya berinteraksi bebas lagi. Ada banyak faktor yang dapat membuat kejiwaannya semakin rentan.

"Kau baik, Dahyun-ssi?"

Dahyun terkesiap seraya mengusap wajahnya. "Oh ya," katanya kemudian tersenyum kepada Min Ah yang duduk di sisinya. Hari ini bus kota lenggang sehingga suasana tenang dapat menyelusup masuk, nyaris membuat Dahyun terbuai apalagi dia mendapat tempat duduk di sisi jendela yang lebar.

"Kau jadi melamun. Kau memikirkan apa? Yeonjun kah?" tebaknya dengan suara mendayu khas angin. Namun, Dahyun hanya menunduk. Min Ah menghela napas perlahan. "Ah, sangat disayangkan memang. Dia seharusnya tumbuh seperti anak-anak yang lain. Aku bahkan bisa bayangkan bagaimana dia pasti sangat populer dengan tubuh dan wajah itu. Terlebih pengaruh orang tuanya. Dia akan menjadi cassanova."

"Aku tahu," sahut Dahyun lemah. "Hanya saja, kau lihat perlakuan mereka? Yeonjun seperti..."

"Seperti bukan anak mereka sendiri. Aku tahu. Baik itu Nyonya Bae Joo-Hyun maupun Tuan Choi, keduanya tidak benar-benar memperlakukan Yeonjun dengan wajar. Kau lihat? Yeonjun bahkan enggan berfoto dengan keluarganya atau duduk bersama mereka padahal mereka adalah keluarga dan aku sangat yakin, sepanjang hari, Yeonjun akan ditahan di rumahnya tersebut."

Dahyun turut mengangguk. "Sejujurnya, aku kasihan dengannya." Gadis itu memalingkan wajahnya ke samping. Dia berusaha menahan genangan air matanya yang secara kurang ajar hendak jatuh bebas. Entah mengapa, ada perasaan sesak yang menganjal. Jika memang Yeonjun begitu berbeda, mengapa dia patut diperlakukan layaknya dia bukan anak manusia? Mengapa mereka seakan menghindari kehadiran bocah itu seperti Yeonjun adalah aib keluarga?

Dahyun menghapus jejak air matanya ketika Min Ah menjulurkan sapu tangan. "Tidak perlu... astaga." Dahyun terkekeh pahit nanmun akhirnya menerimanya dan menundukkan wajahnya. "Kau tahu, aku hanya terlalu banyak pikiran saja. Setelah ini aku akan baik-baik saja."

Min Ah pun meremas bahu Dahyun perlahan. Tidak ada pembicaraan apapun seiring bus yang menembus jalanan yang cukup ramai di sekitar Seoul. Udara mulai berubah dingin di waktu menjelang malam apalagi matahari mulai tergelincir dari singgasananya. Dahyun, masih terjebak dalam pikiran dan wajah pemuda tersebut.

-

-

He is just different.

Dahyun berusaha memasang wajah sumringahnya meskipun tadi dia hampir menangis dengan dada terhimpit sesak. Dia memang belum mengenal Yeonjun secara dekat, dia pun belum genap dua puluh empat jam bersama pemuda itu. Tetapi, mendengar itu semua, tubuhnya melemas. Dahyun yakin di balik tingkah kekanakkan yang pemuda itu tunjukkan, tidak peduli betapa sering ia meronta dan merajuk, Yeonjun hanya anak kecil yang kurang perhatian.

the lost boy | yeonjun ✔ [Sudah Diterbitkan]Where stories live. Discover now