2: Superman Without His Clothes

26.3K 3.1K 69
                                    

Andra

”Thank you for today! Hari ini lancar jaya.” Beberapa kru tersenyum, ada juga yang mengacungkan jempolnya ke arah gue. “Makasih atas partisipasi dan bantuannya di hari pertama saya kerja.”

“Thanks, Pak. Saya lebih betah sama Bapak ketimbang Pak Radit,” cengiran Ardi terlihat, dan Dina langsung memukul pelan punggungnya.

“Sayang dong lo nggak ada yang ngemarahin lagi.”

“Padahal Ardi sama Pak Radit kayak best friend forever banget kan, ya?” Jason menambahkan. Gue hanya bisa geleng-geleng kepala. Dari semua kru yang gue kenal hari ini, mereka bertigalah yang paling cerewet.

Karena tidak ada lagi yang ingin gue sampaikan, gue pamit untuk keluar ruangan. Pekerjaan para kru dan staf mungkin sudah selesia. Tapi tidak untuk gue. Masih ada yang harus gue lakukan lagi.
Laporan, sebelum penggantian jadwal kerja dengan bagian drama dan beberapa kru divisi news yang dapat giliran tayang malam. Syukurnya sih ya, supervisor di sini bukan hanya gue. Salah satunya Alexis, dan dia hanya megang satu acara yang jadwalnya malam ini. Paling tidak gue tidak perlu menjaga full sampai malam. Gila kali gue memantau kru dari matahari terbit sampai matahari terbit lagi.

Cukup jadi Andra aja, nggak perlu jadi Bang Toyib.

Belum sampai ke kantor pimred, ponsel di saku gue bergetar. Gue merogoh saku dan menemukan Mama menelpon.

“Halo, Ma.”

“Gimana, Mas, hari ini? Aman?” Gue mengernyitkan kening karena suaranya justru bukan suara Mama. Suaranya terlalu cempreng untuk jadi suara Mama.

“Lah kamu ngapain nelpon Mas pake nomornya Mama?” gue balik bertanya. Ini bukan Mama, tapi Ayu, adik gue.

“Pulsa sama kuotaku habis, Mas. Ini juga nelpon kan minta diisiin.”

“Nggak mau. Isi sendiri.”

“Mas, sekolah itu ngeluarin duit bukan dapat duit.” Ayu langsung protes, bisa gue bayangkan kalau dia di sofa rumah sekarang, kakinya sudah menendang-nendang sofa, umur 17 tahun tapi kelakuan persis anak 7 tahun. Ini kenapa kedewasaan itu tidak terpatok pada umur, wahai manusia sekalian.

Gue geleng-geleng kepala sendiri. “Jadi kenapa nelpon?” tanya gue.

Terdengar Ayu bergumam pelan di ujung sana sebelum menjawab, “Mau nanya aja. Hari ini Mas jadi kerja di tempatnya Papa, kan?”

“Tapi nggak di kantor Papa. Aku di redaksinya.”

“Nah apapun itu lah,” balas Ayu tak acuh. “Jadi gimana hari pertama kerjanya?”

“Baik sih. Di sini asik juga. Yang di sini pada masih muda, jadi lebih fleksibel aja gitu rasanya. Beda sama...”

“Beda sama ibu-ibu bapak-bapak siapa yang punya anak tolong Andra, Andra yang sedang malu sama...”

“Nggak lucu,” potong gue cepat. Heran, adeknya siapa sih yang begini?

Adek gue sih. Tapi isi otaknya yang begitu bukan menurun dari gue maupun orang tua gue. Jangan tanya, gue juga nggak tahu.

Ayu tertawa puas di ujung sana, seakan mengganggu gue merupakan hiburan paling membahagiakan di dunia—iya, dunianya dia. “Yah tapi benar, kan? Nggak ada yang nanyain status Mas Andra di sana?”

“Kalau mereka nanya juga nggak bakal aku jawab. Apa hak mereka menanyakan hal itu?”

Lagi-lagi Ayu terkekeh. “Eh tapi, Mas, nemu yang cantik nggak?”

“Nggak ada,” balas gue cepat sambil melanjutkan langkah kaki ke kantor pimred.

Ayu membalas lagi, tapi sayangnya gue kurang menyimak ucapannya. Karena begitu sampai di kantor pimred, fokus gue langsung tertuju pada sosok yang ada di meja, Adira. Pintu terbuka kecil, dan dia meletakkan kepala di meja, berbantalkan kedua tangannya yang menyilang. Gue sempat mengetuk pintu, tapi tidak ada balasan.

Insecurities PrincipleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang