Ingatan yang hilang?

Start from the beginning
                                    

"Wilnan sudah mandi? Sudah kamu suruh bantuin ayah masak?" Tanya Mahendra mengalihkan pembicaraan, takutnya Sakha kembali terpuruk akibat percakapan mereka. Sakha memang sangat sensitif hatinya jika menyangkut dengan sang bunda, karena sedari kecil Shaka sangat dekat dengan bunda dan tidak bisa dipisahkan.

"Sudah, katanya abis solat bakal ke bawah."

"Bagus."

Atmosfer diantara keduanya langsung sunyi. Mahendra kembali fokus pada kegiatannya dan Sakha memilih untuk bermain handphone. Tak berselang lama, dari arah tangga muncul Wilnan yang sudah rapi menggunakan seragam olahraga. Ia berjalan sembari membenarkan poni yang menghalangi matanya.

"Loh ayah tumben pagi-pagi sudah masak aja." Sapa Wilnan takjub saat melihat sang ayah sudah sibuk berkutat dengan bahan masakan di dapur.

Mahendra dan Sakha menoleh serentak saat telinga mereka menangkap suara Wilnan.

"Iya nih, mumpung kalian semua ada di rumah. Wilnan sibuk?"

Wilnan mengangguk. "Aku peka kok yah, sini aku bantuin. Bang Sakha diem aja, biarkan dua koki rumah ini yang bekerja."

Sakha terkekeh, lalu ia mengacungkan jempolnya. "Siap, masak yang enak yah."

"Ohiya Sakha, bukannya kamu baru tidur tadi yah? Sana, tidurlah sebentar. Nanti ayah bangunkan. Lihat kantung mata mu itu, ayah sudah ingatkan kan jika kamu harus memiliki waktu tidur yang cukup." titah Mahendra dan Sakha tidak bisa mengelak karena perintah sang ayah adalah mutlak. Lebih baik ia menuruti saja apa yang Mahendra katakan karena apa yang dikatakan ayahnya itu ada benarnya.

"Iya ayah." jawab Sakha, ia lalu bangkit dan naik ke lantai atas setelah pamit untuk kembali tidur. Dan tanpa di duga, di tangga, ia berpapasan dengan Jinara yang akan turun ke lantai bawah.

"Loh Jinara? Sudah bangun?" Tanya Sakha kaget melihat sosok sang adik yang sudah rapi dengan seragam batik sekolah.

Jinara hanya mengangguk dan melanjutkan langkah kakinya menuruni tangga tanpa memperdulikan Shaka yang masih terdiam di tempat karena mencerna apa yang sedang terjadi.

Sakha mengerjap bingung, tapi ia tidak ambil pusing dan kembali berjalan naik. Jinara menggosokkan handuk pada rambutnya yang basah lalu duduk di kursi meja makan untuk memperhatikan ayah dan kakak keempatnya memasak. Saking konsentrasinya, mereka sampai tidak menyadari kedatangan Jinara yang kini sudah duduk diam selama beberapa menit.

"Ayahh," panggil Jinara setelah sekian lama diabaikan. Ternyata diabaikan itu tidaklah enak, pantas saja Wilnan selalu mengomel jika ia diabaikan oleh yang lain.

Mahendra menoleh dengan kaget dan menyimpan terlebih dahulu spatula yang ia pegang. "eh Jinara? Tumben sudah bangun, tunggu sebentar ya."

"Lah iya, biasanya masih tidur sebelum bang Shaka turun tangan." Timpal Wilnan takjub.

Jinara tiba-tiba berdiri dan menuangkan segelas air teh pada cangkir lalu kembali duduk. "Iya, aku kebangun tadi."

"Kamu lagi stress?" Tebak Mahendra saat menyadari jika Jinara meminum air teh, dan Jinara mempunyai kebiasaan meminum teh saat dia tertekan atau stress. Ia menatap putri bungsunya khawatir sampai ia mengabaikan sejenak sarapan yang sedang ia siapkan. "Nak?"

Jinara terdiam sejenak lalu meminum pelan tehnya dan Mahendra mau tak mau harus menunggu dengan sabar agar mendapat jawaban dari mulut si bungsu.

"Ayah, biar aku saja yang masak," ucap Wilnan yang mengerti keadaan. Sepertinya Jinara membutuhkan Mahendra untuk bercerita namun terhalang karena Mahendra sibuk memasak.

"Gapapa?" Tanya Mahendra memastikan, Wilnan mengangguk dan mendorong pelan tubuh ayahnya agar mendekat ke arah Jinara.

Mahendra melepaskan celemeknya, ia membersihkan tangannya terlebih dahulu dan kemudian duduk dihadapan Jinara. "Kenapa? Gak akan cerita sama ayah?"

"Ayah.." Panggil Jinara lirih lalu menatap wajah sang ayah. "Aku kangen bunda..."

Mahendra membeku saat mendengar jika sang putri merindukan bundanya yang sudah berpulang 7 tahun lalu. Ayah enam anak itu mencoba tersenyum dan menggenggam tangan Jinara yang terasa dingin. "Jinara? Kamu baik-baik saja? Wajah mu pucat sekali."

"gapapa kok yah, aku cuman kecapean aja." Jawab si bungsu dengan senyum yang dipaksakan agar sang ayah tidak terlalu khawatir. Ia membalas genggaman tangan sang ayah dan menunduk pelan dengan tatapan sendu yang tidak ia perlihatkan.

Mahendra yang merasa jika ini adalah salah satu peluang untuk keluar dari pembicaraan menyakitkan ini dengan segera mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia tidak boleh mengungkit sesuatu tentang kejadian 7 tahun lalu seperti yang ia janjikan dengan anak-anaknya yang lain. "Pantas saja wajahmu pucat. Tidur lagi saja sana, jangan dulu sekolah kalau kamu merasa sakit."

"Gak yah.. Aku kan sedang PKL, mana mungkin bisa dengan mudah izin."

"Kamu mikirin apa sih, Jinara? Apa ada masalah di tempat kerja atau bagaimana?"

"Pkl yah, deadline banyak. Pola makan sama tidur gak teratur. Jadinya gitu. Di suruh istirahat pun ngeyel nya minta ampun." yang menjawab bukan Jinara, tapi Wilnan yang tanpa sengaja mencuri dengar obrolan ayah dan adiknya itu.

"Kamu harus banyak makan, tidur secukupnya. Jaga kesehatan, baru aja kemarin PKL masa sudah sakit." nasehat Mahendra.

"Ayah, akhir-akhir ini aku selalu mimpi aneh." ucap Jinara

"Itu mungkin efek kamu kecapean. Makanya sering mimpi aneh. Makanya sebelum tidur itu baca doa."

Jinara terdiam. Hmm, masuk akal sih. Mimpi-mimpi aneh yang saling terhubung itu mungkin saja efek dari ia yang terlalu lelah. Mungkin, dirinya selama ini terlalu paranoid sehingga terus melebih-lebihkan apa yang terjadi, dan mungkin tentang amnesia itu ia salah dengar, ya mungkin. Tapi bagaimana dengan rasa sakit di kepalanya? Apa ia mengidap vertigo?

"Emang mimpi apa?" Tanya Wilnan penasaran.

"Punya pacar hehe." Ucap Jinara penuh kebohongan karena ia belum siap untuk menceritakan mimpi-mimpinya yang membuat kepalanya seakan mau pecah ketika bangun.

"Itu emang efek lelah sepertinya. Sampai kebawa mimpi punya pacar, jangan banyak halusinasi." ucap Wilnan tajam yang memancing Jinara untuk mendelik tak terima.

"Sudah sudah, Jinara, ayah masak lagi yah?"

Jinara mengangguk, "oke."

BRUK

DUAGH

Jinara, Wilnan, dan Mahendra menoleh serempak ketika terdengar suara terjatuh dari arah belakang. Rupanya, itu Dava, Jay dan Key yang kini sudah bertumpuk di atas lantai dengan posisi Jay dibawah dan Key paling atas.

"ADUH GUE KEGENCET DUA BABON." protes Jay dan mencoba untuk menyelamatkan diri sendiri.

Key dengan segera bangkit, disusul oleh Dava dan Jay. Ketiganya mengeluh sembari memegang pinggang masing-masing dan berjalan menuju meja makan untuk duduk dan menunggu sarapan.

"Kenapa sih?" Tanya Mahendra pada ketiga anaknya yang baru saja datang itu, ia menggeleng heran melihat ketiganya yang setiap hari selalu bertingkah layaknya anak kecil.

"Tahu tuh yah, Key dorong-dorong." Tuduh Jay pada Key yang sedang membuka wadah selai.

"Eh, Bang Jay yang disuruh geser dikit gak mau." Bela Key yang tidak ingin disalahkan.

"Kalian nguping?" Tebak Mahendra,

"Ngapain nguping, gak berkelas." elak Jay. Ia kemudian berpindah tempat duduk menjadi di sebrang Jinara. Mereka merapihkan dulu rambut dan pakaian mereka yang mendadak kusut.

Jinara terdiam saat kepalanya mendadak sakit melihat perkelahian ketiga kakaknya yang kini saling menuduh. Suara teriakan mereka yang menusuk telinga, membuat Jinara seolah terlempar ke masa lalu di mana ia rasanya pernah mengalami hal ini.

Sebuah perasaan déjà vu yang ia tidak ingat kapan dan di mana namun cukup jelas dalam ingatan.



















•••
.
.
.
23/01/2019

Direvisi 6/10/2020

[✓] Kakak + Day6Where stories live. Discover now