Chapter 10: Dream, Must Become True

9 4 8
                                    

Aku duduk sendirian di meja kerja ini, sampai pukul sembilan begini, wakil direktur masih elum datang juga. Sebagai sekretaris, terkadang aku sering kesal karena tak mendapatkan informasi lebih dulu tentang bosku itu.

Drriiinnngg ... riiinggg .…

Hallo?”

Ji Song Food?” ujar orang di balik telepon.

Yes, this is Ji Song Food. May I help you, Sir?”

“Oh, apa aku sedang bicara dengan Nadha? Apa kau Nona Nadha?” tanya orang itu tiba-tiba.

Yes … Its—”

Aku terhenti dan mencoba memperhatikan kembali apa yang orang itu katakan kepadaku. Meskipun terdengar familiar, bahasa yang digunakannya membuatku terdiam sejenak. Aku yakin dia barusan bicara memakai bahasa Indonesia. Aku tersenyum lalu memperbaiki posisi duduk dan mengangkat dagu dengan pundak tegak lurus.

"Ya, ini saya Nadha Nazifhah," lanjutku berbahasa Indonesia.

“Oh … hari ini aku ingin tahu tentang jadwal wakil direktur Song. Aku sudah bicara dengan sekretaris direktur, dia bilang untuk menghubungimu. Ada yang ingin aku bicarakan!” ungkapnya tanpa ditanya.

“Boleh aku tahu, sedang bicara dengan siapa?”

“Aku Ammar, dari Indonesia.”

“Indonesia?” selaku penasaran. “Iya, ada apa? Ah … apa kau salah satu investor yang mengikuti rapat CEO waktu itu, benar 'kan?” tanyaku memastikan.

“Iya …,” jawabnya ringan.

“Maaf, saat ini wakil direktur Song sedang tidak berada di kantornya. Aku rasa, hari ini dia sedang menghabiskan waktu bersama keluarganya lagi. Ada pesan yang ingin kau sampaikan, Pak?” ucapku berlagak berbahasa Indonesia.

“Ya, tolong beritahu. Bahwa aku akan pindah dan tinggal di Seoul selama 3 bulan, dan proyek bersama kami bisa diperpanjang hingga 3 bulan ke depan, sampai kontrak baru kami selesai dikerjakan. Itu saja, sisanya akan kubicarakan langsung dengannya."

“Baiklah, akan kusampaikan, Pak! Akan segera aku masukan ke dalam daftar laporannya,” jawabku tersenyum.

"Terima kasih,” katanya terdengar sangat ramah. Aku menutup telepon itu, lagi-lagi aku merasa tidak asing dengan suara itu.

Siapa dia? Kenapa dia terlalu familiar? Ammar? Aku pun kembali bekerja dan mengecek kembali jadwal si Bos dengan menelepon ke rumahnya.

"Yeoboseyo?"

"Ada apa, Nadha-ya?" Wakil Direktur Song terdengar ceria.

"Hari ini kau sedang bersama keluargamu lagi?" terkaku.

"Hmm, ada apa? Ada keperluan mendesak? Masukan saja semuanya dalam laporan. Aku akan membacanya besok. Hee In sedang ingin bermain denganku. Mengerti 'lah."

"Ye ... geurom!" Aku segera mematikan sambungan telepon. Yah, biarkan saja dia bersama keluarganya. Lagipula, aku tetap digaji.

***

Pulang bekerja, aku mampir sebentar di toko Min Ji, aku melihat beberapa sepatu edisi terbaru sedang di diskon dengan harga murah. Setelah dipikir-pikir melihat beberapa koleksi pasti tidak akan merugikan dan aku pun memutuskan untuk berkeliling sebentar di dalam toko.

Saat sedang memperhatikan beberapa sepatu heels, aku melihat wedges biru yang mirip dengan sepatu yang dibelikan ibu. Setelah kupikir-pikir lagi sepatu inilah yang jatuh di kepalaku saat aku berlumuran kesedihan malam itu, malam saat aku kehilangan stiletto cantik biru, idamanku. Aku teringat pun teringan sesuatu dan pulang ke rumah.

***

Kubuka laci lemari dan mengambil kotak berisi kalung berbentuk kepingan salju dan bintang. Sekilas teringat di benakku, bagaimana akhirnya bisa mendapatkan benda ini dengan gratis. Karena pemilik toko antik menolak uang yang kuberikan.

Aku pergi ke kamar Nafha, mengambil lukisan kalung yang dibuatnya dan meletakkan kalung itu tepat diatas lukisan.

Mimpi kita harus jadi nyata, setidaknya kau harus punya mimpi. Ini untukmu, hanya untukmu. Peri kembarku! Tulisku di secarik kertas.

Lalu, kutempelkan di bawah lampu belajarnya. Aku menghampirinya yang sedang tertidur pulas, jam sudah menunjukkan pukul 10:18 KST. Aku merapihkan selimut dan mencium keningnya. Terkadang aku bersikap seperti kakak yang baik. Tapi, terkadang sebaliknya.

Adikku sayang, maaf karena selama ini perhatianku hanya untuk uang dan sepatu. Aku lupa melihatmu seperti ini, sama di saat dulu kita sering berbagi tempat tidur kala ayah dan ibu bertengkar. Batinku meracau, aku berdiri meninggalkan Nafha yang asik dengan bunga tidurnya.

***

Aku berdiri di sudut kamar, menyandarkan bahu di dinding kamar. Terlihat jelas langit malam ini, sangat sepi tak ada bintang maupun bulan. Kegelisahan ini bukan tanpa alasan, aku merindukannya. Tiba-tiba sangat merindukannya.

“Lihatlah, Ayah. Hari itu, setelah hampir 4 tahun kepergianmu. Ibu memberiku hadiah, hadiah yang begitu berkesan bagiku. Terkadang aku berpikir kau pasti bahagia di luar sana. Tapi, aku tidak bisa bohong. Hati kecil selalu merisaukan dirimu, bertanya apa kau baik-baik saja? Apa wanita Korea itu memberimu makanan yang cukup. Hari ini juga aku bisa melihat Nafha dengan tatapan tegak, dengan bangga aku tersenyum padanya,” ungkapku nanar menatap gambar lelaki yang membeku di bingkai foto itu.

Aku memang tak tahu di mana keberadaan Ayah sekarang, tapi aku yakin dia baik-baik saja. Aku ingat hari saat dia pergi, itu tiga bulan setelah Nafha keluar dari rumah sakit.

Aku masih tidak bisa melupakan bagaimana perempuan itu membawa Ayahku dalam bayangannya. Saat itu aku baru saja pulang dari Deoksoshil, dengan wajah bodoh aku menyaksikan drama tv tepat di depan rumahku sendiri.

“Aku mohon, Nyonya, biarkan aku menikah dengannya. Saat ini aku sedang hamil, aku mohon! Aku akan menerima Gunawan apa adanya. Tapi, kumohon biarkan anakku memiliki seorang Ayah!” Itu yang dia ucapkan saat mencoba membuat Ibuku hancur dalam dunianya.

Perlahan ibuku mengangkat perempuan itu dari duduknya, dia menatapnya sambil mengucapkan hal yang tak ingin kudengar. Hal yang akhirnya membuat aku dan ibu menjadi saling mengasingkan diri satu sama lain.

“Ambillah, ambil orang itu. Aku tidak butuh dia, jika kau butuh izin? Tanyakan saja pada putri-putrinya,” ucapnya dingin, menoleh padaku. Seolah dia sadar bahwa sedari tadi aku sedang menguping. Ada sesuatu yang menabrak telingaku, berdengung tak keruan.

Ibu, itu kata terakhir yang aku keluarkan hari itu. Aku hanya menatap perempuan jahat yang mencoba menghampiriku, kesal dan marah ada dalam kepala. Hatiku bukan hanya hancur oleh kedatangannya, tapi juga sikap ibu. Sikap yang menyerah begitu saja pada hidup. Padahal dia selalu memintaku menjadi gadis yang tegar! Tapi, apa itu? Dia menipuku.

Ibu, bukankah kau bisa memikirkannya lagi. Kau akan kehilangan suami dan bukan itu saja. Itu ayahku, ayah yang kubanggakan. Bukankah harusnya kau bantu dia? Saat dia jatuh dan lari pada wanita lain, bukankah harusnya kau mengambil dan membersihkannya? Pikiran anak 21 tahun ini sangat tak keruan. Aku membeku, hanya membeku.

Ibu mengambil barang-barang Ayah dan memberikannya pada perempuan itu, perusahaan tempat Ayahku bekerja bangkrut dan memilih meninggalkan kami. Bahkan bukan dirinya sendiri yang datang ke sini untuk meluruskan tentang keadaannya, melainkan perempuan perusak itu.

***

Bersambung

The Blue Wedges [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang