Chapter 4: About Me

17 7 9
                                    

Aku adalah warga Indonesia yang bekerja di Korea Selatan, usiaku masih 24 tahun, 25 tahun jika mengikuti perhitungan di negeri ginseng ini. Tapi, semangat ini takkan bisa diukur dengan angka-angka semata. Seorang penggemar sekaligus kolektor sepatu brandeed, bisa dikatakan diri ini adalah seorang Shoesholic; dulu.

Namun, dua tahun belakangan ini, aku tidak bisa lagi melanjutkan kegemaran itu. Keluarga yang bermasalah ditambah keuangan yang kacau, membuat minat itu harus ditunda, bahkan bisa dikatakan aku memutuskan untuk mengubur semua kemauan, serta keinginan untuk membeli sepatu-sepatu. Sejujurnya, hal ini membuatku menjadi sedikit rakus saat melihat-lihat katalog sepatu online ataupun sekadar melewati toko sepatu.

Selama setahun ini, baru empat pasang sepatu yang bisa kubeli dengan uang sendiri, tak termasuk dari teman-temanku yang memberikan hadiah sepatu untuk hari spesial. Sepatu yang mereka berikan, jika bukan sport shoes tentu saja flatshoes. Beberapa teman memang lebih memilih memberiku sepatu, karena tahu hobi seperti apa yang aku tekuni.

Salah satu hadiah sepatu favoritku adalah pemberian Jungmin, sebuah painting shoes, bergambar bunga lilac jenis blush maiden. Indah sekali. Sepatu itu sempat membuatku bertengkar dengan adik dan memperdebatkan tentang bunga apa sebenarnya yang ada di sepatu. Dia mengira bahwa lukisan bunga itu adalah bunga persik.

Pacar? Tidak.

Lelaki korea pantang memberikan sepatu pada kekasihnya, terakhir kali aku diberikan sepatu, bukan aku yang lari. Melainkan si pria jelek itu.

Jumlah-jumlah itu, kini terbilang sedikit dibandingkan belanjaan terdahulu. Memang tak akan sebanding; sepatu kini menjadi benda paling langka di mataku.

Sepatu-sepatuku hanya terpajang di kamar, karena jiwa dan raga ini masih belum siap untuk memakainya. Meskipun terkadang setan dalam kepala ikut bicara, bagaimana kalau kupakai saja? Tapi, tetap saja jiwa ini tak sanggup.

Sepatu-sepatu itu biarlah jadi sekadar koleksi, yang bisa dipakai untuk mencuci retina mata. Bisa dipakai untuk melihat dan memaknai setiap lengkungan, keindahan dan kecantikan yang dimiliki sang sepatu.

***

Aku baru menyadari sesuatu, sepatu biru itu kini punya label diskon di bawahnya, label cantik berwarna kuning keemasan, yang membuat mimpiku untuk membeli sepatu sepertinya akan segera terwujud.

“Aku yakin sebelum bulan depan, kau sudah menjadi milikku!” ucapku girang.

Lalu, berjalan pulang menuju rumah yang jaraknya sekitar 700 meter-an dari toko Min Ji. Jauh atau dekat, jarak itu bukan masalah besar. Meskipun terkadang aku heran, kenapa sepatu itu masih ada di toko Min Ji, seolah menantikanku untuk memboyongnya.

“Aku pulang …,” ucapku masuk sambil melepaskan sepatu.

“Kamu jalan kaki lagi?” tanya ibu dengan logat sunda yang kental. Saat melihat kakiku yang memerah dan lecet saat sepatu heels 5cm itu ada di tangan, bukannya di kaki.

“Aniyo …,” jawabku dengan bahasa Korea dan berjalan perlahan menuju kamar.

“Kalau mau jalan kaki, sebaiknya pakai flatshoes yang nyaman, supaya kakimu itu tidak sakit. Ingat, jangan pulang tanpa sepatu seperti dua hari lalu, Nadh.” Ibu terus memperhatikanku.

Dia menatapku lama, aku tersenyum ringan seolah berkata, aku baik-baik saja dan melangkah pelan.

Babb-eun?” lanjutnya menepis langkahku, bahasa Koreanya terdengar lancar.

“Aku mandi dulu, Bu …,” jawabku menggunakan bahasa Indonesia, karena lemas dan enggan bicara lagi.

“Iya, ibu tunggu ya.” Suaranya menghilang di balik pintu kayu yang tidak begitu kuat lagi.

“Hmmm."

***

Aku meletakkan sepatu yang tadi dipakai, ke dalam rak khusus berisi puluhan pasang sepatu, awalnya ada lebih dari seratus pasang di tempat itu dengan berbagai macam bentuk dan warna. Tempat itu seperti kolase sepatu yang berjejer rapi, bagaikan aku punya toko sepatu sendiri; itu benar-benar zaman dulu.

Mulanya sepatu-sepatu itu didominasi dengan warna biru. Namun, sekarang hanya ada kurang dari 25 pasang sepatu dengan warna acak, karena terpaksa aku nekat menjual sepatu-sepatu itu saat kami sekeluarga sedang membutuhkan uang. Bisa dibilang, sepatuku cukup berguna pada saat-saat yang darurat. Oh, sepatuku!

Aku melayangkan sejenak tatapan lelah ini ke kalender yang sudah kusut dan kotor dengan coretan merah-hitam, aku bahkan tidak ingat tanggal berapa ini. Tapi, sepertinya musim gugur akan berlalu. Sejenak melalu dalam lelah, aku segera mandi untuk melepaskan kepenatan.

Sesaat, aku teringat laki-laki yang menatap  saat rapat tadi. Orang itu benar-benar tidak asing. Oh, air panas ini menyegarkan ingatanku hari ini.

Tapi, siapa ya? Pikirku.

***

Aku keluar dan bersiap di meja makan. Ibu tampak bersemangat, itu menggelitik hati untuk bertanya.

“Itu … ibu dapat pekerjaan baru …,” cerita ibu tampak sangat senang dan penuh semangat, aku mencoba menggodanya.

Omo? Beneran nih?”

Dia hanya mengangguk bahagia, wajah seperti itu sangat jarang kulihat, atau mungkin wajah seperti itu memang ada, tapi akulah yang tidak memperhatikannya.

Setidaknya hari ini ibu bisa tersenyum. Pikirku.

“Ibu lagi kangen nenekmu nih."

“Nadha juga. Oh ya, di mana dia?” lanjutku membuka obrolan makan malam itu. Melirik kamar gadis kecil kami.

“Adikmu menginap di rumah temannya!” Ibu memasukkan kimchi ke mangkuk, tempatku mencari kepuasan perut. Ah, kimchi … selama lebih dari lima tahun dia selalu hadir di meja makan kami. Tolong beri aku sambal terasi.

“Oh … oh ya, Bu, tas itu isinya apa?” tanyaku menunjuk tas besar yang sedari tadi jongkok di sudut ruangan, tepat di depan kamar ibu.

“Itu, sesuatu. Untuk pekerjaan baru ibu!” jawabnya tampak ragu.

“Boleh kulihat?” Ibu menyeringai sembari mengangkat bahunya yang sabar, ibu menolak permintaanku itu.

“Kenapa?”

“Itu … nanti ibu beritahu! Makan dulu!” ucapnya tersenyum aneh, aku mematuhi permintaan ibu dan membuang rasa penasaran itu.

Kembali kunikmati makanan yang disuguhkan ibu, meskipun terkadang makhluk tuhan paling indah ini lebih banyak kuberikan kesedihan dibanding kesenangan. Tapi, dia tetap bersemangat; akhir-akhir ini.

Malam ini pun berlalu dengan cepat seperti biasanya, meninggalkan sedikit angan dan kenangan dari suatu tempat untukku. Tempat yang kurindu.

***

Setiap sabtu dan minggu aku mendapatkan libur akhir pekan, setiap libur tak pernah sedikitpun diri ini menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tak berguna. Berbekal pengalaman tinggal di sini, aku menyerap segala kebiasaan orang Korea.

Aku memakai konsep ppali-ppali-ppali dalam urusan pekerjaan. Yang artinya, orang Korea itu selalu ingin melakukan sesuatu dengan cepat-cepat.

Biasanya, aku berkeja paruh waktu di beberapa restoran sebagai juru masak atau tukang cuci piring. Hampir sembilan tahun tinggal di Korea Selatan membuat keluarga kami sangat hapal seluk beluk kota ini, sehingga tak sulit lagi bagiku untuk mendapatkan perkerjaan paruh waktu. Karena ya, uang memang diperlukan untuk tinggal di negara penganut ppali-ppali-ppali ini.

Rumah yang tak cukup jauh dari district Pyeongchang-dong membuatku kenal beberapa orang untuk memberiku pekerjaan yang halal, menurutku.

Sepulang bekerja paruh waktu kali ini, kuputuskan tidak mampir lagi ke toko Min Ji. Melainkan menuju tempat lain. Aku mendapat telepon dari ibu, bahwa adik perempuanku masuk rumah sakit. Ini tidak aneh lagi sebenarnya, dia langganan tetap sebuah rumah sakit. Bila diibaratkan seorang pengunjung hotel. Dia sudah seperti penyewa dengan berbagai kartu akses.

Bergegas, aku pergi menuju rumah sakit. Yah, hidupku di sini tak seindah drama Korea.

***

Bersambung

The Blue Wedges [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang