chapter 9: tanya

Începe de la început
                                    

“Ke SeaWorld! Udah lama banget gak ke SeaWorld, kangen lumba-lumba, paus, hiu. Pengen curhat ke mereka kalo meskipun kali ini gue gagal, tapi gue gak bakal nyerah!”

Senyum Depha kini berseri-seri, karena melihat Ama yang semangat, ternyata menular ke tiap peredaran darahnya. Membuatnya ikut merasa hidup.

“Bilang ke mereka, kalo di demo berikutnya, Ama pasti bisa,” usul Depha.

“Oiya, bener, itu perlu dicatet,” ucap Ama sambil mengangguk-angguk setuju.

Sore itu, mereka pergi ke SeaWorld, bercerita pada penghuni laut yang terkurung dalam kaca, kalau hari ini adalah hari buruk Ama, tapi gak apa-apa, masih bisa diusahakan yang lain. Yang Ama tidak tahu, Depha juga berbisik pada penghuni laut, bercerita bahwa ia tidak ingin hari ini berakhir, bahwa ia hanya ingin berada di samping perempuan riang itu.

Tapi keinginan itu tidak akan mungkin terwujud.

“Habis ini, sudah bisa pulang dan istirahat di rumah, Deph,” suara managernya terdengar seperti nada kaku yang konstan berada dalam keseharian Depha Alkantara.

Depha hanya berdeham di bangku penumpang sehingga menarik perhatian managernya untuk melirik laki-laki berumur 19 itu. Mata Depha terpaku pada ponselnya. Tangan dengan jemari panjang dan kurusnya menutupi sebagian mulut, pose berpikir. Sementara tangan yang lain memegang ponsel.

“Liat apa?” tanya managernya.

Depha melirik managernya, lalu menggeleng. Ponsel yang sedang menampilkan layar akun sosial media @lana_music itu kini ia matikan dan taruh di saku celana. “Gak liat apa-apa.”

“Lo tau, Deph, kalo lo—”

“Gak apa-apa,” potong Depha. “Gue ngerti.”

Managernya menghela napas. Kalau sudah seperti ini, tidak ada yang bisa membujuk Depha selain Ama. Dan sialnya, Depha juga sudah mengacaukan semua itu.

***

RUANG UKM debat sore ini tampak ramai dengan perbincangan hangat tentang lomba debat yang akan diadakan enam bulan lagi oleh salah satu institusi ternama. Lomba itu, seperti yang Aidan bilang tempo hari, hanya bisa diikuti oleh anak semester satu dan tiga. Anak dari semester lain tidak boleh ikut andil. Sebuah ketentuan yang aneh, memang, tapi di situ letak serunya.

Sejak sore, ketua UKM yang sedang menjalani skripsi, sibuk ke sana ke mari memberitahu para anggota semester satu dan tiga untuk kumpul (Setyo sudah kumpul dari jam dua sore, omong-omong, meyakinkan ketua UKM bahwa ia bisa membawa tim menuju kemenangan). Ketua menganggapnya bercanda, maka tidak menanggapi Setyo dengan serius. Tapi, Setyo super duper serius.

Bosan dengan kebisingan di ruangan ini, Setyo memutuskan untuk mencari angin segar. Sudah tiga nam perutnya kosong dan berteriak minta diisi. Setyo pun menuju kantin dan mencari makan. Dirinya sudah bersama nampan makanan ketika melihat Aidan sedang berkumpul bersama teman-temannya.

Setyo hendak menghampiri dan bertanya kenapa tidak ke ruangan UKM debat hingga dia tak sengaja mendengar percakapan mereka.

“Lo beneran gak ikut lomba itu, Dan?”

Aidan tertawa sambil menggeleng. “Enggak, deh. Gue skip.”

Setyo sedikit kaku. Kemarin, dia berjanji akan ikut bersamanya. Kenapa sekarang berubah?

“Kenapa? Cerita-cerita, lah,” desak temannya ingin tahu.

“Males aja. Lagian, mereka bisa apa tanpa gue?” tanya Aidan menimbulkan gelak tawa di antara teman-temannya.

Darah Setyo mendidih. Tapi, Bunda selalu mengajarkan Setyo untuk tidak menyelesaikan semua permasalahan dengan tangan, maka, Setyo berbalik menuju ruang debat, masih dengan perut kosong yang tidak terasa lapar lagi.

***

HARI ini, Ama ditinggal sendirian. Pertama, karena Bunda harus menemani Kiara study tour ke Bandung, dan kedua karena Reno yang sedang sibuk latihan taekwondo untuk pertandingan selanjutnya hingga larut malam, tentu saja tidak bisa menemani Ama. Awalnya, Bunda cemas Ama akan butuh bantuan, tapi Ama meyakinkan Bunda kalau dirinya bisa. Apalagi melihat Kiara yang sangat ingin mengikuti study tour itu, membuat Ama seribu kali lebih ingin Bunda menemani adik bungsunya.

Jadilah saat ini Ama hanya ditemani oleh kruk untuk membantunya tegak berdiri. Iya, kakinya lemas akibat pernah kecelakaan dua tahun lalu, dan ketika sakit typhus-nya kambuh, kaki lemasnya pun ikut kambuh.

Ama menggerakkan kruknya menuju gudang, tempat dirinya menyimpan kotak besar berisi hal-hal yang ingin ia lupakan, tapi saat ini ia perlukan untuk mengingat sesuatu.

Gudang berada di bawah tanah, di mana Ama harus turun hati-hati dengan kruknya. Baru saja Ama sampai di tangga kedua, bel di rumahnya berbunyi. Ama melirik jam yang ada di dinding dapur. Masih jam dua siang. Terlalu cepat bagi Rendra untuk menjenguk.

Bel itu kemudian berbunyi berkali-kali seperti orang yang ingin menagih hutang. Saking terburu-burunya ke pintu utama, Ama nyaris terpeleset. Ama merutuk dalam hati sambil menggerakkan kruk menuju pintu.

“Sabar dong, Bambang,” ucap Ama seraya membuka pintu.

Kerutan kesal di dahinya menghilang, diisi keterkejutan. Ama melihat Depha dan Ara berdiri di depan pintu rumahnya pada jam dua siang, seolah itu adalah hal paling normal dan biasa yang terjadi dalam hidupnya. Iya, memang dulu adalah hal biasa. Tapi tidak sekarang, tidak setelah semua yang terjadi.

“Hei, Ma,” sapa Depha dengan suara beratnya yang biasa.

Dan Ara tersenyum. Senyum yang biasa ia tunjukkan pada Ama.

Tapi, Ama merasa tidak ada yang biasa saat ini. Tidak ada.

Pegangannya pada kruk terlepas, membuat Ama kehilangan keseimbangan hingga harus berpegang pada pintu.

“Ama, lo gak apa-apa?” tanya Ara panik.

“G-Gak, gue gak apa-apa,” balas Ama sambil berusaha mengambil kruknya, tapi tindakannya itu sudah didahului oleh Depha yang sigap mengambil kruk. “Oh, eh, thank you.”

Kemudian hening yang canggung.

“Kalian ke sini mau ngapain?” tanya Ama, karena seperti atmosfer tidak biasa di antara mereka bertiga, kali ini, Ama juga ingin lebih berterus terang.

Berusaha menjadi Ama yang biasanya. Seperti dahulu.

di umur 19Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum