20. Liar

1.4K 318 129
                                    

Sunghoon mengintip keluar dari jendela apartemen yang menjadi kantor Seongwoo. Dia tahu Seongwoo suka memandang keramaian kota, tidak heran melihat pemandangan gedung bertingkat di depannya. Walau gedung ini jauh di bawah kemewahan tempat tinggalnya, tapi sama-sama berada di tengah hiruk pikuk kota New York.

Dulu ini apartemen Seongwoo sendiri, sebelum dia melamarnya dan mereka tinggal bersama. Tapi bahkan setelah itu Seongwoo masih tidak mau melepasnya, memilih untuk menjadikan unit apartemen itu sebagai kantor. Katanya dia tidak bisa berkonsentrasi bekerja.

Sudah lelah Sunghoon menjelaskan betapa tidak amannya kondisi apartemen tua ini. Tanpa sekuriti yang berjaga 24 jam, tidak ada kartu akses lift yang membuat siapapun bisa naik turun dengan mudah, bahkan kunci yang masih manual. Tapi keinginan Seongwoo tidak bisa dibantahkan.

Sunghoon menghela nafas. Apakah dia dibutakan oleh cinta? Dia seorang psikiater kan? Seharusnya dia bisa melihat hal ini sebagai salah satu tanda-tandanya.

Hati Seongwoo belum siap. Tapi dia memaksakan dirinya. Dan hal itu makin hari makin terasa.

Apalagi semenjak Seongwoo kembali ke Korea.

Sunghoon bisa merasakannya, walau Seongwoo menutupi, terlihat bersikap biasa.


























Terjadi sesuatu di sana.


...




Sunghoon melihat Seongwoo yang sibuk berkutat di depan komputernya. Kacamatanya bertengger di atas hidung. Jemari lentiknya bergerak lincah di atas keyboard, terlihat cukup sibuk.

Sibuk atau pura-pura menyibukkan diri?

"Hon!" Sunghoon memanggil.

Seongwoo tidak menyahut. Matanya terfokus ke layar monitor.

"Honey!!" Sunghoon mengeraskan panggilannya, mencoba meraih atensi tunangannya. "Seongwoo!!"

"Hmm?" Seongwoo menyahut tanpa menolehkan kepala.

"Can we talk, please?"

Seongwoo kembali tidak menyahut.

"Seongwoo!!" Sunghoon memanggil lagi. "Please! Look at me!"

Gerakan jemari Seongwoo berhenti. Dia mendorong kursinya menjauhi meja. Dilepasnya kaca matanya dan ditolehkannya kepalanya.

"Ya?" Tanyanya.

Sunghoon berjalan mendekat, duduk di kursi di depan tunangannya itu. "Ada masalah?"

"Masalah apa?"

"Kamu dan keluargamu?" Dia mencoba bertanya.

"Tidak ada. Tidak ada apa-apa." Mata itu tak berani menatap mata lawan bicaranya.

Sunghoon menggeleng sambil menghela nafas. Seongwoo masih saja mencoba menghindar dan menutupi.

"Are you sure?"

"I'm sure."

"Lalu kenapa kamu tinggal di sini?"

"Apa atau siapa yang coba kamu hindari?" Dahinya berkerut, menatap penuh selidik.

Seongwoo tak suka ditatap seperti itu. Dia kini menatap balik tunangannya itu dengan tajam. "Jangan coba menganalisaku. Aku bukan pasienmu lagi."

"Bukan. Tapi aku tunanganmu."

Seongwoo tidak menjawab, bahkan dia kini membuang muka.

"Dan seharusnya kamu jujur kepadaku."

HOURGLASS [END] | OngNielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang