Part 2 - Kebimbangan Nia

131 9 0
                                    

Nia POV

"Regina, sumpah deh aku kapok ngatain orang sekarang aku yang ketulahan." Aku sedang menelpon Regina sambil merebahkan tubuhnya di ranjang.

"Memangnya kenapa lagi Nia?" Terdengar suara Regina yang tenang seperti biasanya.

"Ini akibat aku ngolokin kamu waktu itu deh. Sekarang aku juga dijodohin. Huaa...." Sekarang aku berpura-pura menangis. Mungkin Regina akan simpati padaku.

Terdengar suara kekehan di seberang sana.

"Ih teman sengsara malah ketawa." Bukannya memberi solusi tapi malah menertawakan. Huh sahabat macam apa dia? Aku bahkan bangkit dari rebahannya menjadi duduk menyender di kepala ranjang sambil memeluk bantal.

"Iya deh sorry. Emang kamu dijodohin sama siapa?"

"Sama ponakannya Tante Maya yang udah dianggapnya kek anak sendiri. Dan kamu tau ternyata dia itu wali dari murid baru aku."

"Oh yang ayahnya dokter itu. Ya bagus dong kalo kamu nikah sama dokter."

"Bagus kalo normal. Lah ini sepertinya gak normal. Udah pemaksaan, tukang intimidasi, pelaku kekerasan lagi." Aku menyebutkan semua sisi buruk pria aneh itu satu per satu. Eh bagaimana aku bisa tahu ya kan kami baru bertemu sore ini?

"Kamu lagi telponan sama siapa sayang?" Terdengar suara seorang laki-laki yang kuyakini adalah suami Regina. Ya iyalah, gak mungkin dia sama tukang sayur malam-malam terus panggilnya sayang.

"Ini Nia Mas, sahabatku dari kuliah."

"Oh Nia yang itu?"

Aku hanya menjadi pendengar yang baik dalam obrolan suami-istri ini.

"Hai Nia, maaf mengganggu waktumu dengan sahabatmu. Saya sudah mendengar banyak cerita tentangmu dan saya harap kita bisa bertemu. Tapi sepertinya saya harus memutuskan obrolan kalian. Saya ada perlu dengan Regina. Selamat malam."

Aku bahkan belum sempat mengatakan apapun sebelum telponku terputus. Huh menyebalkan.

Dasar. Aku tau ini sudah malam tapi tidak perlu mengatakan hal seperti itu pada jomblo yang merana sepertiku kan. Aku jadi terlihat menyedihkan sekali kalau begini.

Perlahan aku bangkit menuju jendela kamarku yang belum tertutup. Kulihat pemandangan di luar sana dan pikiranku melayang.

Apa aku harus menerima perjodohan ini?

Bagaimana kehidupan pernikahan kami saat kami dua orang asing yang bahkam tidak saling kenal tiba-tiba harus tinggal satu atap dalam hubungan perkawinan?

Ingatanku kembali pada percakapan kami tadi sore.

Pak Reno menghentikan mobilnya di tempat yang cukup sepi.

"Bu Nia, saya harap ibu bersedia menikah dengan saya" ucapnya sungguh-sungguh.

"Tapi Pak, saya sudah menyampaikan alasan saya mengapa saya menolak perjodohan ini."  Aku juga tak kalah serius dengan yang satu ini.

"Saya tahu Bu. Tapi saya harap Ibu bersedia menolong ayah yang ingin membahagiakan putrinya ini. Ibu tahu Hera sangat bahagia dengan ibu sebagai wali kelasnya, setiap pulang sekolah ia selalu menyanjung ibu dan terus mengatakan kalau ia akan sangat bahagia jika memiliki ibu seperti Bu Nia." Matanya menerawang sambil tersenyum tulus. Sebuah senyum yang entah mengapa terlihat begitu indah dan menimbulkan rasa syukur di hatiku mengingat bahwa senyum itu akan kulihat setiap hari nantinya.

Astagfirullah...

Apa yang kupikirkan. Fokus. Tujuanmu adalah menolak perjodohan ini atau setidaknya mengatakan seluruh unek-unekku.

Cinta Itu Nyata : Our Love StoryWhere stories live. Discover now