A Christmas Miracle

13 1 2
                                    

PseuCom

Seorang pria duduk di depan jendela besar di sebuah penthouse. Memandangi gemerlapnya lampu malam di sekitar kota. Secangkir kopi hangat sudah tersaji di hadapannya dan sebuah buku dalam genggamannya, siap menemani malamnya. Telepon genggam di meja berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Pria itu berjalan menghapirinya. Dibukanya pesan itu, dari sekertarisnya, mengingatkan jadwal untuk besok.

Besok, 24 Desember, malam Natal. Biasanya, orang-orang akan berkumpul bersama keluarga mereka pada malam Natal dan hari Natal. Tapi yang akan dilakukannya hanyalah menghadiri serangkaian acara bakti sosial. Memberikan hadiah-hadiah untuk anak-anak panti asuhan dan para kakek serta para nenenda di panti jompo.

Nathanael Theo, atau Nathan. Pemilik perusahaan arsitektur yang saat ini sedang naik daun. Sayangnya, ia tak memiliki keluarga lain. Ia hanya hidup seorang diri di penthouse miliknya itu. Kadang ada wanita-wanita cantik yang dengan senang hati menemaninya. Hanya saja, seperti ada yang kurang. Berbagai substansi berkumpul menjadi satu membuatnya merasa tak nyaman.

Saat hari Natal orang lain dipenuhi kegiatan keluarga, Nathan sibuk dengan kunjungan sosialnya. Berbagi kebahagiaan dengan para penghuni panti merupakan salah satu caranya melupakan kesendirian.

Ia kembali duduk di depan jendela. Menyeruput kopinya dan mulai melamun.

*"Apa sih permohonan orang lain pada Santa? Seandainya bisa memohon satu saja permohonan, aku ingin sebuah keluarga. Orang yang bisa menyayangiku sebesar aku menyayangi mereka."* Pikiran Nathan mulai berbicara.

Tapi Nathan sudah lama sekali tak meminta apapun pada Santa, sudah merupakan sebuah afirmasi bahwa ia tak lagi mempercayai keajaiban Natal. Tapi tetap terus berbagi karena menurutnya walaupun ia tak percaya tapi banyak orang lain yang masih percaya pada hal arkais itu dan seluruh dunia merayakannya.

"Sedang melamun? Apa aku mengganggu?" Suara seorang pria membuatnya terkejut.

"Siapa kamu?? Bagaimana kamu bisa masuk?" Nathan bertanya waspada.

Ia yakin sekali sudah mengunci pintu. Dan pintunya hanya bisa dibuka dari dalam. Entah dari mana pria itu masuk. Nathan mengamati pria yang tersenyum di hadapannya itu. Tinggi, mengenakan kemeja merah dan celana putih. Rambut pendeknya tertata rapih. Dan matanya... Mata biru pria itu seolah berbicara, memintanya untuk percaya.

"Aku adalah pengantar hadiah Natal-mu." Ia menjawab dengan santai.

Hadiah natal dari siapa? Pria ini penipu atau bukan pun Nathan tidak yakin.

"Ah... Kau tak mpercayaiku. Tak masalah. Tapi aku takkan pergi sebelum tugasku selesai," katanya santai sambil mebjatuhkan tubuhnya diatas sofa.

"APA??!! Jadi kau akan tinggal disini?!" Nathan berseru kaget sekaligus kesal.

Pria itu tertawa, kemudian mengangguk
Kenapa pria ini tiba-tiba datang dan mau menetap di rumahnya. Siapa pula yang usil mengirimkan pria ini ke sini? Tapi ini juga sudah malam. Nathan menghela napas.

"Baiklah. Kau bisa tidur di kamar sebelah. Tapi besok kau sudah harus pergi dari sini. Karena aku tak punya waktu untuk meladenimu."

Pria itu menggerakkan jari telunjuknya. Serta sedikit menggelengkan kepalanya. Ia berjalan mendekati Nathan. Meletakkan kedua telapak tangannya di rahang Nathan.

"Tidak. Kau akan membatalkan semua acaramu dan ikut denganku. Kita akan melewatkan malam Natal bersama." Pria itu tertawa melihat ekspresi Nathan, kemudian ia melenggang keluar.

Nathan mendengus kesal. Tapi ia tetap juga mengirimkan pesan pada sekertarisnya untuk mewakilkan semua acara besok. Nathan membaringkan dirinya di atas ranjang. Kesal dirinya diperintah seperti itu. Pria itu bahkan belum memberitahukan namanya.

Keesokkan paginya, Nathan terbangun dan merasa dirinya pasti bermimpi. Ia keluar menuju dapur untuk membuat sarapan. Dan menemukan pria yang sama sedang memasak dan mentiapkan sarapan.

"Pagi. Kemarilah. Sarapan sudah siap." Ia tersenyum seraya meletakan sepiring omelet di meja makan.

Masih setengah tidur, Nathan menghampiri meja makan dan duduk.

"Siapa namamu?" Nathan bertanya seraya menyuapkan sesendok omelet ke mulutnya.

"Ah, maaf. Aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Mike." Lagi-lagi ia tersenyum.

Ada sesuatu dalam diri Mike yang membuat Nathan merasa dirinya tak sendirian. Ia akhirnya setuju menghabiskan hari itu bersama Mike. Mereka pergi mengunjungi tempat-tempat rekreasi. Semua tempat sudah siap menyambut Natal dengan pohon Natal besar serta lampu-lampu yang gemerlap.

Mike menggandeng tangan Nathan, menariknya ke tempat-tempat yang dianggapnya indah dan seru. Membawanya melihat-lihat hiasan pohon Natal. Pergi ke bioskop menonton film dan makan di restoran sambil memandangi indahnya malam.

Pukul sebelas malam, mereka berjalan kembali ke penthouse milik Nathan. Lagu-lagu dan lonceng gereja mulai berkumandang menandakan Natal akan segera tiba.

"Ah, tampaknya aku akan sendirian lagi Natal tahun ini." Nathan menghela napas.

Tangan Mike masih menggandeng erat tangan Nathan. Ia tersenyum mendengar perkataan Nathan.

"Tidak. Santa punya hadiah Natal untukmu," sahutnya santai.

Nathan menatap pria itu, tak mengerti.

"Bukankah kau hadiah Natal untukku?" Nathan bertanya ragu.

Mike tertawa mendengarnya.

"Bukan, bodoh. Aku yang mengantar hadiah untukmu."

Tepat pukul dua belas malam. Mereka tiba di penthouse milik Nathan. Mike mendudukkan Nathan di atas ranjangnya, kemudian keluar dari kamar Nathan. Tak lama kemudian ia kembali dengan sesuatu di tangannya.

"BAYI?! Bayi siapa ini?" Nathan sangat terkejut melihat apa yang ada dalam gendongan Mike.

Mike menyerahkan bayi itu ke dalam gendongan Nathan yang ragu-ragu menerimanya. Di dalam selimut yang membungkus bayi itu, Nathan melihat sebuah kartu. Diletakkannya bayi perempuan mungil itu di kasur dan diambilnya kartu yang terselip diantara selimut.

"Ia akan menjadi keluarga yang mencintaimu sebesar cintamu padanya."

Nathan dengan bingung menatap pria di hadapannya. Bagaimana pria itu bisa tahu apa yang ia mohon pada Santa kemarin. Ia bahkan tak mengucapkannya, hanya sekedar memikirkannya.

"Rawatlah ia dengan baik, Nathan." Mike mengusap lembut wajah Nathan. "Sekarang sudah saatnya aku pergi. Tugasku sudah selesai."

Mike berdiri membelakangi jendela besar di kamar Nathan. Tubuhnya perlahan mulai memudar. Nathan menatap tak percaya pada pemandangan di hadapannya. Jadi Mike benar-benar utusan Santa?

"Tunggu!!" Nathan berjalan mendekati Mike yang menatapnya. "Apa kita akan bisa bertemu lagi?"

Mike tertawa. Diraihnya tangan Nathan dan ditariknya agar Nathan mendekat. Mike menempelkan bibirnya pada bibir lembut Nathan. Menciumnya perlahan sebelum melumat bibir pria dalam pelukannya itu. Kemudian memisahkan bibir mereka. Ia tersenyum melihat Nathan terengah karena ciuman mereka. Diusapnya bibir Nathan dengan lembut.

"Teruslah berbuat baik, Nathan sayang. Siapa tahu, Natal tahun depan, Santa kembali mengirimkanku padamu," sahutnya seraya menghilang dari hadapan Nathan.

Nathan menatap kosong ke arah dimana Mike menghilang sambil menyentuh bibirnya. Akhirnya ia mendapatkan deklasifikasi atas pertanyaannya tentang siapa sebenarnya Mike. Ya. Ia akan membesarkan bayi mungil itu. Menyayanginya seperti menyayangi dirinya sendiri. Dan berdoa semoga ia bisa bertemu lagi dengan Mike.

We will smile and say What a Christmas
This is
Long before the snowflakes appear
Without bells or mistletoe
Or the tinsel silver glow
You just have to look at me and Oh!
Christmas is here

  - Christmas Love Song by Manhattan Transfer-

Stories and NotesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang