[24] Satu-satunya yang dipercaya

2.4K 346 42
                                    


Lelaki itu menyeka keringat yang merembes di kulit pelipisnya. Duduk tanpa beralaskan apapun, sembari memandang ladang jagung di hadapannya yang mulai menguning. Sudah nyaris menginjak minggu ketiga ia menjalani hidup baru. Tepatnya, berusaha menerima kehidupan barunya. Walau sampai detik ini pun pikirannya masih berputar sekitar enam lelaki yang sudah dianggapnya saudara.

"Apa yang lainnya tau kau kemari?" ia berujar tanpa menoleh, pada seseorang lagi yang sudah lumayan lama berdiri di belakangnya dan memperhatikan dirinya dalam diam.

"Tidak."

"Kenapa kau kemari?" Ia kemudian membalikkan badan, menatap datar pada lelaki yang tadinya ada dalam pikirannya. "Jimin."

"Aku hanya merindukanmu," Jimin tersenyum tipis, selanjutnya ikut mendudukkan diri di sebelah sahabatnya. "Semuanya sedang merindukanmu, Tae."

"Sudah kubilang aku tak mau kembali."

"Bukan tak mau, tapi tak bisa. Jika kau berniat tak kembali, kenapa kau masih berhubungan denganku? Kenapa kau masih mempedulikan lainnya?"

Taehyung terdiam, mengalihkan lagi pandangannya pada ladang di depannya. Rasanya, sudah lama sekali ia tak duduk bersebelahan dengan Jimin, melihat perubahan senja yang kian semakin redup, sembari mengobrol ringan.

Kapan terakhir kali ya? Yang ia lakukan selama ini hanya menghubunginya lewat pesan.

Ya, Jimin adalah satu-satunya yang tau di mana Taehyung, sedang apa dia, dan bagaimana keadaannya. Jimin, member yang pertama kali dihubungi sejak ia mengganti nomornya. Taehyung menaruh kepercayaannya hanya pada sahabat terdekatnya.

"Bagaimana kabarmu, hm?" Jimin memecah sunyi, berbasa-basi meski ia tau sahabatnya itu baik-baik saja, secara fisik. Sebab kenyataannya, tak ada yang baik-baik saja di antara mereka bertujuh.

"Aku selalu memberimu kabar, apa itu tidak cukup untukmu?"

"Tidak. Bagaimana sebuah kabar yang hanya dikirim lewat pesan bisa cukup untuk memastikan kau benar-benar hidup dengan baik? Siapa yang tahu kau berbohong."

"Jadi, kau tak mempercayaiku?"

Jimin tersenyum miris. "Sampai kapan kau bersembunyi, Tae?"

"Aku tidak benar-benar sembunyi. Aku hanya... ingin menjalani hidup baruku."

"Lalu, sampai kapan aku harus menyembunyikanmu dari yang lainnya?"

Taehyung menghela napas kasar, menyisir rambutnya ke belakang, kemudian menatap Jimin dengan serius. "Kau tau tidak, ketika kau ingin berlari kembali pada karirmu, tapi kau diberi 2 pilihan, pergi kepada karirmu dan jangan pernah kembali pada keluarga, atau... tinggal bersama keluarga dan tinggalkan karirmu. Kau pikir itu mudah untukku?"

"Lalu, aku bertanya padamu." Jimin menjilat bibirnya sebentar sembari mengatur emosinya yang mendadak naik. "Ketika kau ingin mengejar mimpimu, tapi kau tak diberi pilihan apapun selain meninggalkannya dan mengikuti mimpi yang sudah ditentukan oleh orangtuamu. Kau pikir itu mudah?"

Taehyung kembali terdiam oleh perkataan Jimin yang selalu menang darinya. Ia mengatupkan bibir, melihat sahabatnya itu kini membuang muka, dan dapat dilihatnya sekilas air mata turun dari dua maniknya. Ia sering menumpahkan perasaannya pada Jimin dengan mudah, tapi, Taehyung sadar, Jimin tak melakukan semudah dirinya. Baik ia sendiri, atau Jimin, walaupun persahabatan mereka berjalan lama, tapi keduanya masih saja menyembunyikan hal yang menjadi kesakitan mereka sendiri.

Namun, perihal kebohongan Taehyung tentang kedua orangtuanya sudah terungkap. Sekarang, ia baru saja mengetahui bahwasanya Jimin menyembunyikan sesuatu yang mungkin menyiksanya setiap hari.

FATAMORGANAOnde histórias criam vida. Descubra agora