Bab 2

29 4 0
                                    

Keesokan paginya, tepat saat kedua orangtuaku bersiap – siap ke kantor, aku meminta izin pada mereka tentang rencanaku bersama kedua sahabatku minggu ini.

"Chloe, kau harus belajar, nak. Demi masa depanmu. Kau bisakan mengebelakangkan kesenangan pribadimu?" ucap ibu sambil mengelus wajahku dengan ekspresi yang datar. Setelah mengatakan hal itu, mereka segera berangkat. Tadinya, aku hendak bertanya pada ayah atau ibu mengapa mereka tidak bisa menghadiri acara kelulusanku.

Kusimpulkanlah bahwa hari ini kedua orangtuaku tidak dapat menghadiri acara yang berkesan itu. Kulihat selembar kertas yang tampak ditempelkan di pintu kulkas bertuliskan:

'Chloe, ayah dan ibu masih ada urusan. Kau pergi saja, ya. Ingat, jangan sampai nilaimu dibawah 90'

Sesibuk itukah mereka? Tidak ada waktu untuk menghadiri acara kelulusanku...

Tadinya, aku ingin pergi dengan Kath dan Jac tanpa sepengetahuan kedua orangtuaku. Tapi, aku jadi teringat kejadian saat aku berusia dua belas tahun, tepatnya saat aku duduk di kelas 6.

Beberapa tahun lalu, aku pernah tidak mengikuti perintah ibuku. Saat itu, aku hendak pergi bersama teman – teman sekelas saat acara perpisahan kelas 6. Untuk perpisahan, siswa kelas 6 memutuskan untuk mengadakan acara perpisahan di Puncak. Aku sangat ingin mengikuti kegiatan tersebut. Aku tahu, bahwa ia tidak akan bertemu dengan teman- temannya lagi. Masalahnya, kedua orangtuaku tidak mengizinkanku untuk ikut acara perpisahan tersebut. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi sendiri tanpa izin dari orangtuanya.

Subuh – subuh saat orangtuaku masih tidur, aku segera pergi ke rumah Jac untuk bersembunyi dan berangkat bersama. Aku mengikuti saran Jac dan Kath untuk tidak mengikuti perintah mereka. Setelah itu, aku dan Jac akan mengikuti anak- anak sekelasnya untuk acara perpisahan.

Tiga hari kemudian, rombongan anak – anak kelas 6 pulang. Sewaktu aku kabur, aku jadi merasa bersalah dan panik karena aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan apabila ayah dan ibuku mengtahui kabar tersebut.

Untuk menghindari mereka, aku menginap dirumah Jac dan Kath bergantian setiap dua hari. Pada akhirnya, orangtuaku mengetahui hal tersebut, dan sebagai hukuman, aku tidak boleh tidur di kamarku dan hanya boleh tidur di ruang kerja ayah. Sekalian belajar sambil dipantau ayah yang sedang bekerja. Dua bulan ini ayah bisa bekerja dirumah karena ada proyek yang sedang ia kerjakan. Setelah dua bulan, akhirnya aku terbebas dari hukuman itu.

***

Seorang pria tua berkacamata melangkahkan kakinya. Ia menaiki mimbar di bagian depan ruangan aula. Semua anak melihat kedatangannya. Ialah Pak Surya, kepala sekolah SMA Mutiara Bangsa. Hari ini adalah hari pengumuman nilai UN kami. Pak Surya hendak memberikan kami kata – kata dan nasihat emasnya. Ia tampak mengenakan kemeja putih bergaris abu – abu birunya, dengan sepatu hitamnya yang khas yang selalu terlihat mengilap bagai disemir setiap jam.

Dengan postur tubuhnya yang jangkung, beliau berdiri dan memulai pidatonya.

"...Selamat pagi, anak – anak semuanya. Saya ingin menyampaikan rasa terimakasih saya pada kalian semua. Usaha kalian sangat saya hargai. Kalian korbankan waktu kalian untuk belajar. Segala rintangan dan godaan kalian hadapi untuk nilai yang terbaik. Sekarang, kalian akan menerima apa yang sudah menjadi hak kalian. Perjuangan dan pengorbanan kalian akan terbayar semuanya pada hari ini..."

Semua siswa bertepuk tangan setelah ia menyelesaikan pidatonya. Sekarang, mereka memasang raut wajah merengut, dengan alis yang sedikit dinaikkan dan wajah tertekuk. Wajah mereka menyiratkan perasaan yang campur aduk. Sedih, khawatir, takut, senang, bahagia. Seluruh siswa waswas menunggu hasil UN nya.

Tak lama kemudian, giliranku maju untuk mengambil hasil kerja keras selama tiga tahun.

"Chloe", suara Bu Sari wali kelasku lembut.

Seluruh pasang mata menyaksikan hal ini. Seluruh siswa terlihat antusias dan dari pandangan mereka menyiratkan bahwa sepertinya mereka sedang menebak – nebak nilaiku.

Setelah menyalami semua guru, aku kembali ke tempat dudukku. Kursi di paling belakang ruang aula. Aku senang duduk di paling belakang karena biasanya tempat itu sepi dan jauh dari kegaduhan..

Kubuka amplop berisi nilai UN sambil menutup mata. Aku bisa merasakan keantusiasan Kath dan Jac . Sepertinya mereka sedang memerhatikan amplopku. Kath dan Jac melirik selembaran kertas hasil UN milikku. Aku membuka sedikit kepalan tangan yang menutupi mataku, dan melirik keduanya. Mereka terkesiap hingga menutup mulut mereka masing – masing. Seperti mereka tak sanggup lagi melihat nilai itu.

"Berapa? Beritahukan padaku", aku masih menutup mata dengan tangan kiriku.

"Kau harus lihat sendiri", balas Jac.

Aku melepaskan telapak tangan dari wajahku, dan aku tidak percaya dengan selembar kertas yang kini terpampang di depan mataku. Mengapa bisa seperti ini? Mungkinkah salah hitung?

IPA : 58

Matematika : 54

Bahasa Indonesia: 50

Bahasa Inggris : 60

Kejuruan (Fisika): 68

Aku sangat kecewa dengan nilai UN ku. Mengapa hasilnya tidak ada satupun yang memenuhi standar kelulusan? Jika seperti ini, bisa – bisa aku tidak naik kelas. Aku membendung air mataku yang akan membasahi pipiku. Jika aku menangis sekarang, semua orang akan bertanya – tanya. Kath dan Jac yang kini berada di sebelahku memelukku.

"Tidak apa – apa, Chloe. Setahuku, nilai UN tidak digunakan untuk seleksi kuliah nanti. Kau tenang saja", Kath mencoba menghiburku.

Aku segera berlari keluar ruang aula. Aku tidak bisa membayangkan betapa malunya aku jika semua orang mengetahui nilaiku. Hal seperti ini tidak pernah terjadi padaku. Apa kata orangtuaku nanti? Aku harus mengatakan apa?

Aku memutuskan untuk berjalan – jalan di taman sekolah hingga acara selesai. Dua puluh menit kemudian, Kath dan Jac datang menghampiriku. Aku mendongakkan kepalaku keatas untuk melihat suasana ruang aula. Kupikir, acara sudah selesai, tapi mengapa mereka datang kesini tergesa – gesa? Kemeja putih mereka terlihat basah oleh keringat yang bercucuran dari pelipis mereka.

"Chloe, tadi Pak Surya menyuruhmu datang ke ruangannya sekarang juga", kata Jac.

"Ada apa?" tanyaku.

"Mungkin mengenai nilaimu", balas Kath.

Oh, tidak. Dimana harus kuletakkan wajahku? Bagaimana jika Pak Surya tahu nilaiku? Bisa – bisa ia memberitahukan hal ini ke orangtuaku. Aku harus bagaimana?

Kath dan Jac mengamati wajahku. "Tidak apa – apa, kata Pak Surya ia akan membantumu", Jac seakan dapat membaca pikiranku.

"Kami akan menemanimu", lanjut Kath dengan senyum sambil menepuk bahuku.

***

"Chloe, saya tetap akan meluluskanmu karena prestasimu selama kau bersekolah disini. Untuk nilaimu, saya akan bertanya lagi pada dinas. Kau jangan cemas, ya. Saya yakin pasti ada kesalahan. Nilaimu selalu menduduki peringkat terbaik. Untuk ujian kali ini, saya tidak percaya jika nilaimu tidak mencukupi", jelas Pak Surya kepala sekolah Mutiara Bangsa singkat. Ia terkenal akan nasihat – nasihatnya yang singkat namun penuh makna.

Setelah selesai berbincang dengan kepala sekolah, aku segera pulang dan mengurung diri di kamar. Aku berharap orangtuaku tidak bertanya tentang nilai ulanganku.

Sorenya, terdengar suara di depan pintu rumahku. Rupanya, itu adalah guru lesku. Seperti yang kuceritakan, ayah dan ibuku menambahkan jam belajarku terkait olimpiade dua bulan lagi. Mau tidak mau, aku menuruti perintah mereka.

Petualangan Chloe (REPUBLISH)Where stories live. Discover now