20. White Box

214 28 6
                                    

Ada kalanya di mana Tuhan memberikan berbagai cobaan dalam hidup makhluknya. Namun bukan berarti Tuhan tak ikut andil dalam memberikan solusi untuk setiap makhluknya yang mau berusaha dan memohon pertolongannya. Dan saat-saat yang paling ditunggu ialah ketika seluruh penghalang menepi dari jalan, memberikan jalan pada ia yang telah berusaha sekuat tenaga.

Tapi Becca sadar, bahwa masih ada beberapa hal yang perlu ia luruskan meskipun segalanya sudah terlihat normal. Seperti siang ini. Becca sengaja mengirim pesan kepada empat orang berbeda dengan ajakan yang sama: yaitu untuk menemuinya di restoran milik Justin.

Setelah mendapati empat pasang mata canggung yang saling menatap satu sama lain, Becca akhirnya menghampiri meja di mana keempat orang itu bertemu.

"Hai," sapanya halus dan tenang, seakan tak peduli bahwa empat manusia di depannya sudah bersiap untuk memberikan tusukan ringan menggunakan pisau pemotong daging.

"Hai? Kau menyuruhku datang ke sini di siang yang panas ini hanya untuk menerima sapaan 'hai' darimu? You better go to hell," cerocos Scarlett diiringi dengan sebuah putaran bola mata. Becca tak pedulikan ucapan pedas gadis itu.

"Oh, ya, silakan duduk. Kalian pasti lelah, kan? Atau kalian langsung mau pesan makanan atau minuman saja?"

"Becca--"

"Apa Danny? Kau mau pesan?"

"Becca, jangan potong perkataanku," Daniel menarik sebuah kursi lantas memaksa Becca untuk duduk di sana. "Apa maksud semua ini?"

"Ini yang mana?" jelas sebuah kesalahan, Becca berani menampilkan wajah tanpa dosa itu.

"Jangan pura-pura tak tahu, Becca." kali ini Grace ikut ambil bagian.

"Kami semua tahu, kau yang sudah merencanakan pertemua ini, bukan?" itu Harry, dengan wajah yang masih sama tampannya sejak Becca putus dengan laki-laki itu.

Merapikan rambutnya, Becca bangkit dari tempat duduk.

"Sepertinya aku kurang cocok berakting. Dan ya, kalian semua benar. Aku yang merencanakan semua ini. Tapi lihat hasilnya? Kalian mau berkumpul setelah semua yang terjadi, bukan?"

"Tapi bukan seperti ini caranya, Becca. Kami--"

"Lalu seperti apa? Apa aku harus terus-terusan melihat kalian memakai topeng kalian setiap hari? Kau Grace, harus berakting seakan kau mencintai Daniel. Tapi aku tahu, perasaanmu untuk Daniel hanya sebatas cinta sesaat. Berhenti berpura-pura.

"Kau juga Daniel. Berpura-pura tidak mencintai Scarlett dan diam saja saat kau tahu aku berbohong tentang pacar Scarlett? Sebenarnya terbuat dari apa hati kalian ini? Kumohon, demi kebaikan kita semua. Jangan ada lagi yang memakai topeng.

"Bukankah kau juga sakit hati saat melihat Grace bersama Daniel, Harry? Dan begitu juga kau, Scarlett? Sampai kapan kalian akan terus seperti ini?"

Jeda beberapa detik. Becca tak meneruskan perkataannya, memberi kesempatan kepada empat orang di depannya untuk merenungi kedungungan mereka masing-masing.

"Kau salah, Becca. Kami tidak--"

"Ya, terus saja sangkal semua kebenaran itu sampai kalian semua tua. Kalian akan hidup dalam lingkaran kebohongan yang tak akan memiliki ujung. Itu yang kalian mau, bukan?"

Kalau dalam permainan catur, yang baru saja Becca ucapkan itu adalah skakmat. Telak. Tanpa kesempatan untuk mengelak apalagi membalas. Tepat sasaran.

"Damn, Becca. Apa kau pikir kami mau menuruti ego kami masing-masing saat kami tahu bahwa keadaanmu jauh dari kata baik?" kata Harry.

"Apa maksudmu?" Becca tak benar-benar paham.

My Unwanted TeacherOnde as histórias ganham vida. Descobre agora