❛ prologue ❜

87 4 0
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.




Demam panggung.

Sejujurnya, aku memilikinya. Malah, yang kurasakan adalah demam panggung tingkat akut—dimana ketika aku sudah berada dan hendak tampil di atas panggung, di hadapan semua pasang mata orang-orang yang menonton penampilanku, aku akan sangat gugup dan lupa segalanya.

Tak peduli sudah berapa kali aku mencobanya—untuk terbiasa di atas panggung—tetapi gagal, rasa malu, dan penyesalan di akhir adalah hal yang selalu kudapatkan. Aku akan selalu pulang ke rumah, mengunci diriku di dalam kamar, dan menangis sejadi-jadinya.

Aku, Kang Seulgi, adalah seorang introvert yang susah bersosialisasi, memiliki sedikit teman, dan selalu malu untuk berbicara kepada siapapun yang tak terlalu dekat denganku. Otakku pun standar dalam pelajaran dan daripada menonton siswa-siswa tampan di sekolah bertanding basket, aku lebih memilih pergi ke gudang penyimpanan alat olahraga, alias tempat rahasiaku untuk melakukan apapun yang kumau. Tetapi, ada satu hal yang sangat senang kulakukan dan membuatku begitu puas ketika melakukannya—yaitu menari.

Ketika ada musik, disitu aku akan menari. Terkadang karena iseng, aku senang membuat koreografiku sendiri. Perasaan ketika tubuh bergerak lincah mengikuti alunan musik sangat menyenangkan. Aku merasa sangat percaya diri dan terlihat hebat ketika melakukannya.

Sampai pada kelas 1 SMP di distrik sekolahku yang baru, aku yang kala itu tidak begitu disukai semua perempuan karena terlalu pendiam dan tak mau bergaul, memberanikan diriku untuk tampil pada perlombaan menari solo di sekolah, di hadapan semua murid sekolahku. Perasaan itu datang lagi ketika musik terdengar dan aku mulai menari sesuai koreografi yang kubuat semalam suntuk. Aku menari dengan begitu kuat dan penuh percaya diri. Tetapi ketika musik berhenti dan aku hampir kehabisan nafas dan mengharapkan sebuah apresiasi, yang kudapatkan hanyalah kebisuan. Aku tak tahu apakah semua orang di sekolahku saling berkongkol, tapi tidak ada yang memberikan apresiasi pun satu orang. Mereka hanya melihatku dengan wajah datar dan sama sekali tidak ada respon.

Hari itu aku merasa duniaku runtuh—akan kekecewaan dan rasa malu yang tertumpuk berat di hati dan kepalaku. Para gadis menggunakan kesempatan itu untuk semakin menindasku. Rasanya aku ingin pergi dari sekolah itu dan tidak menampakkan batang hidungku lagi kepada seluruh orang yang ada di sana selamanya. Tetapi apalah kekuatan gadis berumur 13 tahun untuk melakukan itu? Dan mimpi buruk berada di sekolah itu bertahan selama tiga tahun lamanya. Tiga tahun yang dipenuhi depresi dan trauma.

Aku terlalu trauma rasanya untuk menari lagi. Kejadian hari itu itu terus menghantuiku.

Tapi Ibuku selalu bilang, bahwa aku tidak boleh terlalu terjebak pada lingkaran kelam selamanya. Untuk mendapatkan cahaya, aku harus keluar dari lingkaran itu. Aku ingin bersinar. Aku ingin semua orang tahu bahwa aku adalah seorang penari.

WOW ThingWhere stories live. Discover now