Kabur

3.7K 199 19
                                    


Antara percaya dan tidak percaya, tentang isi surat itu. Aku terus menatap tulisan tangan yang rapi itu.

Naluriku sebagai anak mengatakan jika Mamaku tak mungkin melakukan hal seperti itu dengan laki-laki lain. Mamaku tak mungkin sebejat itu. Apa yang harus aku lakukan sekarang Ya Allah?

"Ini tidak benar kan, Fit?" Suaraku tak lagi dapat dikatakan baik. Serak dan sesak memenuhi kerongkonganku.

"Sudah, Mbak... Jangan mudah percaya dengan kabar yang belum pasti mbak" Ucap Fitri seraya menahan tangis, tampak dari suaranya yang sedikit bergetar.

Kutatap nanar gadis disampingku ini, mencari kekuatan dari sorot matanya. Fitri menggeleng, sepertinya Ia paham maksudku. Ia melarangku untuk pulang. Ada kekecewaan dimataku, tatapanku berubah sendu menegaskan pertanyaan 'kenapa?'

Ia hanya menggeleng. Tangisku semakin pecah, sepertinya Fitripun sangat khawatir, takut jika pada akhirnya aku harus menghadapi kenyataan super pahit itu. Mungkin Ia tahu aku tak setegarnya, yang harus kuat tatkala menghadapi goncangan-goncangan dalam hidupnya.

Memang sedari kecil, aku jarang mendapatkan kasih sayang langsung dari orang tuaku, tapi bukan berarti aku akan menerima jika mereka berpisah. Lebih baik aku berada di pulau terpencil seorang diri, dari pada harus menyaksikan kedua orang tuaku bercerai.

"Nggak, aku harus pulang, Fit." Aku harus mencari kebenarannya sendiri.  Ucapku segera beranjak turun, tak peduli lagi dengan anjuran dokter, sialnya pergerakanku terganggu kateter urine sialan ini.

"Ah!" Hembusan kasar nafasku keluar dari mulutku. Dan terus berusaha turun dari brangkar.

"Jangan, Mbak. Jangan! Mbak masih sakit" Cicit Fitri ketakutan. Aku tak menggubrisnya sama sekali, bahkan aku mulai menarik-narik selang lentur itu dari pangkalnya.

"Sebentar, Mbak. Aku akan memanggilkan perawat, jangan ditarik itu bahaya!" Jelas Fitri dengan paniknya.

Aku hanya terdiam dan menghentikan aksiku "Ah! Bagaimana aku bisa kabur, jika Fitri memanggil team medis? Bodoh." Rutukku dalam hati. Aku harus segera memikirkan cara terbaiknya.

Fitri sesegera mungkin melesat dan kembali dalam satu kedipan mata, bagai janji Jin Ifrit pada Nabi Sulaiman AS. Tak lupa di belakangnya ada dua orang perawat perempuan yang tak kalah paniknya. Bahkan satu diantara dua perawat berjilbab putih itu mengaitkan peniti di dagunya sambil berjalan dan berakhir di sampingku.

"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" Tanya salah satu dari mereka dengan bahasa formal.

Aku memejamkan mata sejenak, dan menjawab mereka sesantai mungkin. "Saya merasa tidak nyaman dengan kantong kencing ini"

"Tapi  jika dilepas Nona harus berjalan ke kamar mandi" Balasnya masih dengan bahasa yang kaku. Jika terus berbicara seperti ini lama-lama aku bisa berubah menjadi robot.

"Tidak papa, Sus. Lagian saya juga sudah bisa berjalan pelan-pelan kok" Aku benar-benar tak tahan dengan bahasa mereka.

Setelah bernegosiasi dikatakan deal, mereka melakukan apa yang menjadi tugasnya sekarang, yaitu melepas penghambatku untuk turun dari kasur ini.

Setelah lima menit berlalu, aku sudah bisa bernafas lega. Selesai sudah ritual yang melibatkan pipa tipis nan runcing alias jarum suntik musuh bebuyutanku.

Para suster telah kembali keluar dari ruang rawat bertaraf istimewa ini, meninggalkan aku dan Fitri yang masih dengan wajah yang tak bisa dikatakan baik-baik saja, berbeda dengan kebiasaanya. Sepertinya ia sangat takut sekali pasal apa yang diutarakan oleh isi dari sobekan kertas di genggamanku ini.

Cinder-ella di PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang