Ulya Namanya

4.8K 191 2
                                    

Masih dengan bibir tanpa senyum menahan kesal, ku balikan badan melangkahkan kaki menuju arah kamarku. Ku tolehkan sekilas kepalaku dengan malas, saat merasa ada seseorang mensejajari langkahku, siapa lagi kalo bukan Fitri.

"Napa tuh mulut, Neng? Di manyun-manyunin gitu? Kaya makan ujung tumpeng tapi nggak ketelen gitu?" Kikikan manusia di sampingku seperti tanpa dosa.

"Ck! Apaan sih lo"

"La emang iya kok"

"Cerita aja mbak, aku dengerin pasti"

"Idiih pe-de siapa juga yang mau cerita sama lo!" Heh aku lagi dongkol tau, nih anak apaan sih.

"Maaf deh, kalo Fitri salah"

Apaan tuh, dimanis-manisin pake sebut nama lagi. Terus kenapa dia minta maaf? Aneh, kan pemirsaah?

"Iya, Fitri salah. Tapi emang iya, kok. Pas waktu Gus Abban nolongin Mbak, dia emang senyum tulus banget gitu." Oh ya ampun! Demi para kutu rambut dan kerajaannya! Aku berani taruhan serupiah nih, pasti Fitri lihat tadi pas aku di cuekin Gus Abbad. Hadeeh kan aku jadi malu.

"La terus?" Jelas sinis laah, buat nutupin malu.

"Nggak papa, Mbak. Nggak ada yang liat kok" Bagai mendapatkan apa gituu yang gede banget, beneran. Nyess banget

"Aku tau kok, mbak. Pasti mbak Laila penasaran juga, kan? Sama Gus Abhan?" Cuitan Fitri menyadarkanku. Kok dia tau sih?

"Eh apa-paan? Gue itu cuman mau ngebuktiin aja apa kata lo kemarin, orang dia aja emang ramah ke semua orang, tuh buktinya pas pelajaran tadi asyik gitu"

"Itu namanya apa, mbak?" Waduh ini kata-kataku malah berubah jadi boomerang bagi diriku sendiri. Eh, tapi coba deh dipikir-pikir lagi, kenapa coba aku mau ngebuktiin ucapannya Fitri. Ah sial itu membuatku tersadar.

Ku edarkan pandangan menyapu semua yang ada di sekitarku. Penglihatanku tertuju pada satu titik di area parkir pintu gerbang komplek kamarku. Pada satu kendaraan beroda empat yang sangat familiar di mataku. Mobil Jazz putih sederhana milik Papaku, lebih tepatnya mirip milik Papaku. Senyum kecil sempat terlukis di bibirku. Mungkinkah Papa menjengukku?

"Loh kok senyum-senyum gitu? Nggak geser kan otak kamu, Neng?" Udah nggak usah kaget kenapa Fitri bisa tiba-tiba akrab gitu? Ya secara kan aku dasarnya emang anak baik ya, kan? Ya, kan? (Iya gitu napa? Kan akunya jadi seneng) *plak. Jadi ya udah aku terima aja Fitri jadi temenku. Atau jangan-jangan emang Fitri nggak punya temen kali, ya? Kok mau sih berteman sama Si Bandel binti Judes macam aku? Ahaha itu mungkin salah satu alasannya. Ah apaan sih ini otak. Suka ngawur deh. Kaya Authornya  eh?

"Aw sakit tau" Aku tersadar sambil mengusap kecil lengan kiriku yang sedikit pedas karna cubitan Fitri.

"Salah siapa nggak dijawab"

"I kepo aja" Sengangaja ku panjangkan huruf 'i' nya sebagai tanda bahwa aku tak peduli.

Dengan semangat ku langkahkan kaki masuki komplek kamar, tak memperdulikan Fitri yang kesusahan mengibangi langkahku karna tangannya yang ku tarik paksa.

"Woy! Woy! Tangan siapa yang kau tarik, ini masih berguna tau!" Sergah Fitri berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku.

"Nggak mau ikut ya udah. Aku lepas."

"Tapi fix, nggak usah ngikutin gue lagi. KEMANAPUN!" Lanjutku mengancamnya dengan menekankan kata 'kemanapun' yang pastikan sukses membuat nyali malaikat yang nggak malaikat-malaikat banget di sampingku ini menciut.

"Kok gitu, sih? Udah nggak sayang lagi, ya? Sama Fitri?" Hah nggak salah denger, kan? Sejak kapan aku bilang sayang sama dia.

"Woy! Lo sadar nggak sih? Lo barusan bilang apa? Sejak kapan sih, gue bilang sayang sama lo?" Jawabku super ketus menyuarakan isi kepala yang di sebabkan karena pernyata oneng satu-satunya temanku di pesantren ini. Dengan mataku yang membulat sempurna.

Cinder-ella di PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang