POV : MUTIARA (Part 2)

1.5K 47 0
                                    

Aku memasuki ruangan berukuran 5 x 6 meter dengan nuansa biru muda yang sangat lembut. Tirai penutup jendela berwarna pastel menambah kesan ruangan sangat fenimin. Detail dekorasi ruangan terlihat ditata sedemikian teliti dan cantik. Suhu udara yang berkisar antara 20-23 derajat celcius sangat nyaman, kontras sekali dengan udara panas di koridor rumah sakit yang baru saja ku lalui.

Dokter Fransiska menyapaku dengan ramah. "Silahkan duduk, Bu Mutiara." Ia mempersilahkanku duduk di sofa berwarna biru dengan bunga-bunga kecil. " Apakabar, Bu? Semoga sehat ya." Dokter berusia antara 30-35 tahun itu menyapaku. Aku mengangguk. Hati ini rasanya berdegup sangat kencang menunggu kabar yang hendak disampaikan olehnya.

"Begini Bu, saya ingin menyampaikan hasil CT-Scan yang dilakukan beberapa hari yang lalu. CT Scan ini untuk mengevaluasi respon tubuh terhadap kemoembolisasi yang sudah dilakukan selama satu bulan terakhir." Dokter Fransiska menarik nafas perlahan. Jantung ini seakan berhenti berdetak. "Bu Mutiara, kemoembolisasi ini tidak menyembuhkan hanya meredakan rasa sakit dan memperpanjang usia harapan hidup."

Tidak bisa dibayangkan rasa sakit yang diderita oleh suamiku. Aku menghela nafas panjang. "Berapa lama lagi suami saya bisa bertahan, Dok?" tanyaku dengan suara tercekat. "Kanker yang diderita oleh pasien adalah Hepatocellular dan sudah masuk stadium empat Bu. Sepertinya selama ini pasien sering mengabaikan rasa sakit yang dialaminya." Penjelasan Dokter Fransiska berhenti sejenak.

" Sel kanker sudah menyebar ke dalam dua lobus hati. Dan dari hasil CT Scan terlihat bahwa sel kanker sudah mulai menyebar ke organ disekitarnya. Saya tidak bisa memperkirakan sampai kapan pasien akan bertahan, namun tentu saja kami akan terus mengupayakan yang terbaik." Dokter muda itu membenahi posisi blazer putihnya. "Yang ingin saya sampaikan pagi ini, Ibu harus lebih menguatkan mental dan psikis Bapak Gunawan. Berbagai tindakan medis yang dilakukan tentu akan sangat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya."

Aku mengangguk lemah. Penjelasan Dokter Fransiska tentang metode pengobatan yang akan dilakukan selanjutnya tidak mampu lagi ku pahami dengan baik. Pikiran ini entah berada dimana, aku hanya melihat dokter cantik itu menggerakkan bibirnya dengan teratur dan perlahan. Suaranya seperti hilang terbawa angin.

"Bu, bingung ya dengan penjelasan saya?" Dokter Fransiska duduk bergeser mendekati dan menyentuh tangan ini. Aku tersadar dari lamunanku dan berkata gugup, "Maaf Dokter." Aku menunduk. "Mengenai biayanya, bagaimana ya?," tanyaku dengan wajah kalut. Terbayang berapa rupiah yang harus ditanggung untuk membiayai pengobatan tersebut karena beberapa obat dan pengobatan tidak lagi bisa diklaim melalui BPJS.

"Nanti bagian administrasi yang akan menjelaskan ya, Bu. Rumah sakit akan tetap mengupayakan yang terbaik untuk Bapak Gunawan." Dokter Fransiska tersenyum ramah ke arahku. "Semoga Tuhan memberi yang terbaik bagi Ibu sekeluarga," ia melanjutkan.

Ku kuatkan hati ini untuk menutup pintu ruangan dokter yang dinginnya seakan terasa menusuk tulang. Lantai koridor menuju ruang ICU terasa sangat panjang dan senyap. Aku menghentikan langkahku, terduduk pada kursi kayu panjang yang ada di dekat taman. Kenapa harus stadium empat, Tuhan? Mengapa bukan dari awal kami tahu adanya kanker itu? Aku menggigit bibirku menahan agar tak menggugat Tuhan. Andai saja masih awal mungkin alternatif pengobatannya juga masih banyak yang dapat dilakukan.

PEREMPUAN PENYULAM SABAR Where stories live. Discover now