Dahi Vano mengerut, dan menatap clue yang tertulis di binder. Di hamparan pasir putih, ada embrio berdarah yang beralaskan makanan popeye si pelaut.

"Telurnya, telur apa dulu nih?" tanya Vano.

"Ini mereka masih debat telur ceplok atau telur bulet. Emang cluenya apa?" tanya El.

"Embrio berdarah."

Manik biru itu bergulir ke arah lain. Berpikir. Embrio berdarah?

"Ah, masih berupa embrio. Otomatis, dia masih di dalem cangkang. Telur bulet," ujar El.

"Oke. Telur bulet," Vano mengiyakan ucapan El, "Snacknya mereka ada bahas?"

Kedua mata Vano kembali menatap catatannya. Minuman Cleopatra satu liter. Ah, ini sih air putih kemasan bermerk 'Cleo'. Apa senior-senior itu tidak ada inspirasi lain dalam membuat clue? Lalu, dia juga disuruh membawa.... buah homo? Tunggu, mereka menyindirnya? Apa tampang Vano kelihatan sekali homonya? Vano rasa, tampangnya biasa saja. Tapi, kenapa mereka harus memakai kata 'homo' segala?

Buah homo ya.. jeruk lah. Kayak diiklan-iklan itu. Jeruk kok minum jeruk.

Vano memutuskan untuk menuliskan clue-clue yang sudah ia tau jawabannya agar tidak lupa. Sebenarnya, baru kali ini ia mencermati clue itu dengan benar, karena dari tadi tidak sempat membacanya.

"Keripik singkong kucinta."

Vano mendongak.

"Mereka bilang snacknya keripik itu. Lalu, BangBang juga. Sama snack cincin yang keju itu."

"Ah.." Vano mengangguk dan menuliskannya ke catatan, "Dikulkas kita, ada telur sama bayam?" tanyanya.

El meletakkan ponsel Vano dan beranjak menuju kulkas mereka. Membuka benda elektronik itu untuk melihat isinya.

"Telur kita habis!" seru El agar Vano mendengar.

Vano menghela napas. Oke. Dia belum menulis biodata teman-teman barunya itu dan biodata panitia. Dia belum membeli kaos kaki. Dia belum beli snack. Tunggu. Apa dia ada membawa kotak bekal ke sini?

"El! Sekalian tolong liatin ada kotak bekal ngga?!" serunya.

El segera mencari dengan teliti. Waktu menunjukkan semakin sore.

Vano berdecak saat melihat jam. Ia beranjak dari duduknya, dan melangkah menuju kamar. Mengambil sweater serta kunci mobil.

"Yuk, belanja," ajak Vano. Tubuh El, ia tarik pelan. Lalu, memakaikan sweater yang ia ambil tadi, ke tubuh kecil itu. Dia sudah tidak peduli, ada membawa kotak bekal atau tidak saat pindahan kemarin. Dia beli lagi saja. Daripada El harus mencari dalam waktu lama sesuatu yang masih belum pasti keberadaannya.

Tangan kiri itu ia genggam erat, dan keluar dari apartemen. El melepas genggaman tersebut. Lalu, membenarkan sweater hitam yang ia gunakan. Sweater ini milik Alvano, membuat El menggerutu dalam hati karena membikin tubuh kecilnya tenggelam di dalamnya.

"Supermarket di deket sini aja. Di situ lengkap kok," ujar El. Vano mengangguk. Ia melirik El yang tampak sibuk menaik-naikkan bagian bawah sweaternya agar tidak terlalu menutup paha.

"Dibiarin aja kenapa sih sweaternya," gumam Vano pelan.

El mendengar gumaman itu. Ia cemberut, "Aku pake celana pendek, Van. Warna item juga lagi. Kalo ntar dikira aku ngga pake celana gimana?"

Vano memutar bola matanya, lalu membuka kunci pintu mobil dan masuk ke dalam. Diikuti oleh El yang tampak sudah menyerah untuk menaikkan sweater tadi karena ujung-ujungnya bakalan jatuh lagi.

Happiness [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang