chap#36- Masa lalu

40.1K 3K 215
                                    

Tekanan yang menghimpit di sekitar kami berangsur menghilang. Tubuh mulai rilek. Senyuman tidak lagi kaku. Semua karena pertemuan hari ini berakhir tanpa diwarnai adu pendapat yang menyesakan.

Di tengah rasa penasaran yang seakan sengaja diperlihatkan Erga, aku bisa  memberinya jawaban paling rasional dengan menuruti keinginannya. Hal itu membuat sikapnya berangsur normal termasuk kembalinya sifat tak tahu malu. Rayuannya masih terdengar menggelikan, terlalu berlebihan dibanding menghanyutkan.

Erga mengatakan kalimat mesra sangat santai. Ia tidak memedulikan reaksi sejumlah pengunjung lain yang mengangkat alis ketika mendengar rayuannya saat melewati meja kami. Di bola matanya hanya ada diriku dan harus kuakui itu membuatku tersanjung.

"Aku kenyang. Sekarang bisa jelaskan maksud pernyataanmu tadi." Tanganku menaruh gelas minum yang telah kosong.

"Yang mana?" Erga mengerutkan kening, kentara pura-pura berlagak lupa.

Punggung kusandarkan ke belakang kursi. Berulang kali menghela napas tanda tak sabar. Kedua tanganku bersidekap, menempel erat di dada. Bibir mengerucut seperti bebek menahan kesal.

Kekehan mengalun merdu dari seberang meja. Erga tak terusik justru menikmati gambaran raut perempuan yang memasang wajah jengah. Dan yang lebih menyebalkan, tawa kecilnya menular hingga diriku mau tak mau ikut tertawa.

"Ayolah," pintaku setelah tersadar terjebak situasi yang Erga ciptakan. "Atau mungkin aku bisa menanyakan sama orangnya langsung," decakku sambil melempar pandangan ke langit-langit.

Kalimat bernada ancaman disikapi Erga dengan sorot tajam. Ia berubah lebih dingin. Keberadaan Axel menghapus ketenangannya. Kepedihan atas kepergian Egia mungkin begitu membekas. Meski mengaku sudah memaafkan tetapi melupakan membutuhkan proses panjang.

"Ha ha. Nggak lucu, Marsya."

Bahuku terangkat. Kecemburuan Erga merupakan hiburan menyenangkan. Kadang reaksinya mengerikan namun tak urung menggoda. "Siapa yang bercanda. Aku bisa menjenguk Axel sebagai teman. Kak Adji nggak akan keberatan menemani. Anggap saja ini bagian dari terapi. Dan nilai lebihnya selain dari sisi kemanusiaan, kebenaran akan terungkap. Bukannya kamu ingin menolong Putri, kan?"

Erga menghela napas kasar. Jawabanku sepertinya memperburuk isi hatinya. Erga ingin aku menjauh dari masalah, dari Axel. Gambaran tentang itu terlihat jelas lewat bahasa tubuhnya walau mulutnya terkatup.

Kepalanya menggeleng. "Aku nggak setuju. Kamu bukan polisi jadi berhenti bermain detektif. Jika memang ada sesuatu yang menurutmu janggal atau penting, kamu bisa bicarakan padaku. Menemui Axel nggak termasuk di dalamnya. Berapa kali harus kujelaskan sampai kamu mengerti arti bahaya." Kalimat terakhir diucapkan penuh penekanan.

"Tapi... "

Tangan Erga terangkat sebelum aku sempat melanjutkan aksi protes. Punggung lelaki itu dicondongkan ke arahku. Kedua tangannya menumpu di paha.

Bola mataku berputar ke sekeliling demi menghindari tatapan menuduh. Pengunjung lain tampak menikmati kesibukan masing-masing. Tawa, obrolan dan senyuman terdengar di antara aroma lezat makanan.

Seharusnya kami pun begitu. Melewati kehidupan normal layaknya pasangan di luar sana. Diriku hanya seorang perempuan yang belum sepenuhnya dewasa. Perempuan yang baru saja menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Tapi kupikir sesuatu yang buruk tidak selalu berakhir buruk. Dalam masalah ini kebersamaan dengan Erga jadi salah satu pengalaman terbaik. 

"Baiklah." Aku berhenti mendebat. Mempertahankan keras kepala bukan solusi untuk memperbaiki keadaan. "Selama kamu juga terbuka soal Putri. Aku nggak mau ada salah paham lagi."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 16, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Melody From The Past ( completed )Where stories live. Discover now